WeChat Pay dan Alipay Sempat “Menyusup” ke Bali

Kehadiran WeChat dan Alipay sempat menjadi sorotan Bank Indonesia (BI) akhir tahun lalu. Saat itu, banyak turis asal China yang pelesiran di Bali menggunakan metode pembayaran nontunai dengan mata uang renminbi lewat WeChat Pay dan Alipay saat berbelanja di toko-toko yang notabene milik warga negara Tiongkok.

Nah, dengan transaksi nontunai tersebut, wisatawan China yang berkunjung ke Bali jarang membawa dollar Amerika Serikat (AS) dalam jumlah besar. Padahal, transaksi yang pelancong negeri tembok raksasa itu lakukan masuk kategori cross border.

Sementara dengan transaksi nontunai lewat WeChat Pay dan Alipay, uang yang mereka belanjakan saat di Bali otomatis langsung kembali ke negaranya. Sehingga, tidak kena pajak dan tak ada devisa yang masuk ke Indonesia. Tak heran, penerimaan devisa dari kunjungan turis China amat minim.

Dari catatan Bank Indonesia (BI), rata-rata pengeluaran wisatawan China di Bali hanya sebesar Rp 9,6 juta per orang. Sedang pengeluaran turis asal Jepang Rp 11,19 juta seorang, Australia sebanyak Rp 13,4 juta dan Eropa mencapai Rp 15,7 juta.

Salah satu penyebab tidak optimalnya penerimaan devisa tersebut adalah praktik perjalanan berbiaya murah alias zero tour fee. Praktik ini menyebabkan lost opportunity sekitar US$ 205 per turis. Jika potensi itu dikalikan total wisatawan China yang datang ke Indonesia sepanjang 2015-2017, maka totalnya mencapai US$ 260 juta.

BI jelas bereaksi lantaran transaksi yang turis China lakukan di Bali tersebut menyalahi Peraturan BI (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Beleid ini menyebutkan, setiap prinsipal asing yang memproses transaksi pembayaran ritel di Indonesia harus bekerjasama dengan lembaga switching domestik yang mendapatkan persetujuan BI.

Karena itu, Onny Widjanarko, Kepala Departemen Komunikasi BI, bilang, bank sentral mendorong penyelenggara sistem pembayaran dari China tersebut berkongsi sama pemain lokal.”Mereka kami berikan waktu, silakan masuk ke Indonesia, layani turis untuk membeli barang, namun harus bekerjasama dengan pemain sistem sistem pembayaran berizin dari Indonesia,” katanya.

Selain itu, WeChat Pay dan Alipay mesti bekerjasama dengan bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV untuk penyimpanan dana dan koneksi ke GPN. Tapi, BI tetap mengarahkan turis China menggunakan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran.

Transaksi pembayaran turis China lewat WeChat Pay dan Alipay juga sempat mendapat penolakan dari kalangan pelaku bisnis pariwisata di Bali. Sebab, bekerjasama dengan biro perjalanan dari China, para pengusaha China yang punya toko di pulau dewata mensubsidi biaya paket wisata pelancong China yang pelesiran ke Bali. Sebagai kompensasi, travel agent tersebut harus membawa para turis masuk ke toko-toko mereka dan wajib membeli barang yang ditawarkan dengan harga tinggi. Ini demi mengembalikan subsidi yang mereka keluarkan. Alhasil, waktu kunjungan ke objek-objek wisata di Bali pun menjadi sangat sedikit.

Tentu, transaksinya menggunakan mata uang renmimbi lewat WeChat Pay dan Alipay. Toko-toko milik pengusaha China itu juga menyalahi aturan karena mempekerjakan tenaga asing asal negaranya. Tambah lagi, seluruh toko itu tidak menjual barang-barang kerajinan khas Bali. Barang-barang yang mereka jual merupakan produk impor dari China. Misalnya, kasur berbahan karet atawa latex, kain sutra, serta obat-obatan.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only