Pakai Tanda Tangan Elektronik? Wajib Pajak Perlu Tahu Ini

JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (16/6/2021).

Tata cara tersebut termuat dalam PMK 63/2021. Beleid ini merupakan aturan turunan dari PP 74/2011 s.t.d.d PP 9/2021. Dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan kembali wajib pajak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik dan menggunakan tanda tangan elektronik.

“Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik … merupakan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang merupakan lingkup kewenangan Direktorat Jenderal Pajak,” bunyi penggalan Pasal 3 ayat (1).

Dokumen elektronik yang digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik ditandatangani oleh wajib pajak dengan menggunakan tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik dapat berupa tanda tangan elektronik tersertifikasi atau tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi.

Selain mengenai terbitnya PMK 63/2021, ada pula bahasan terkait dengan negosiasi pemajakan ekonomi digital yang diproyeksi akan berjalan cukup alot meskipun negara-negara G7 telah menyepakati beberapa aspek.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Tanda Tangan Elektronik Tersertifikasi

Sesuai dengan ketentuan PMK 63/2021, tanda tangan elektronik tersertifikasi merupakan tanda tangan elektronik yang dibuat dengan menggunakan sertifikat elektronik. Adapun sertifikat elektronik bisa diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik instansi (untuk ASN, TNI, Polri) atau non-instansi.

Penyelenggara sertifikasi elektronik merupakan penyelenggara sertifikasi elektronik yang telah mendapatkan pengakuan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan ditunjuk oleh menteri.

“Penunjukan sebagai penyelenggara sertifikasi elektronik oleh Menteri … ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan yang ditandatangani oleh direktur jenderal pajak atas nama menteri,” bunyi penggalan Pasal 3 ayat (7) PMK 63/2021. (DDTCNews)

Tanda Tangan Elektronik Tidak Tersertifikasi

Berdasarkan pada ketentuan dalam PMK 63/2021, tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi merupakan tanda tangan elektronik yang dibuat dengan menggunakan kode otorisasi DJP yang diterbitkan Ditjen Pajak.

“Untuk memperoleh kode otorisasi DJP …, wajib pajak harus mengajukan permohonan penerbitan kode otorisasi DJP kepada Direktorat Jenderal Pajak,” demikian bunyi penggalan Pasal 5 ayat (1) beleid tersebut.

Adapun permohonan kode otorisasi DJP dapat diajukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau secara terpisah setelah wajib pajak memperoleh NPWP. Simak ‘Tanda Tangan Elektronik, Ini Ketentuan Permohonan Kode Otorisasi DJP’. (DDTCNews)

Negosiasi Bakal Cukup Alot

Dalam negosiasi pemajakan digital, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan ada perdebatan mengenai threshold perusahaan yang tercakup, omzet, dan persentase hak pemajakan yang boleh dibagi.

“Ini yang akan menjadi debat. Kalau katakanlah revenue-nya 100 dibagi antara headquarter dan tempat pemasaran dengan tarif pajak tertentu, pasti 100 itu dibagi antarberbagai negara. Negosiasi yang cukup alot adalah berapa yang harus dibayar kepada yurisdiksi yang mana,” ujarnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

Optimalisasi Pendapatan Negara

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu Febrio menyebut saat ini pemerintah tengah berupaya melakukan reformasi dan konsolidasi fiskal untuk mengembalikan defisit ke bawah 3% pada 2023. Upaya tersebut mencakup 3 bidang, yakni pendapatan, belanja, serta pembiayaan.

Dari sisi optimalisasi pendapatan negara, langkah yang dilakukan antara lain melalui inovasi penggalian potensi pajak untuk meningkatkan tax ratio, memperluas basis perpajakan, serta memperbarui sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.

Khusus pada poin perluasan basis perpajakan, opsi yang dipertimbangkan misalnya optimalisasi penerimaan pajak dari sektor e-commerce, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), serta pengenaan cukai pada kantong plastik.

Setelah itu, ada upaya optimalisasi pengelolaan aset dan inovasi layanan serta penguatan tata kelola dan kebijakan melalui implementasi peraturan pelaksanaan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (DDTCNews)

Utang Luar Negeri

Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2021 senilai US$418,0 miliar atau Rp5.952,9 triliun.

Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan ULN tersebut tumbuh 4,8%, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang mencapai 7,2%. Menurutnya, perkembangan tersebut didorong perlambatan pertumbuhan posisi ULN pemerintah dan swasta.

“Utang luar negeri Indonesia pada April 2021 tumbuh melambat,” katanya.

Sumber: DDTC News, Rabu 16 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only