Upaya Tekan Defisit Bikin Rakyat Menjerit

Bocornya draf Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) memicu kemarahan publik. Pasalnya, draf yang masih berbentuk rancangan ini memuat banyak rencana negara untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang dan jasa yang menjadi hajat orang banyak.

Tidak tanggung-tanggung, draf mengungkap rencana untuk memajaki barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa layanan kesehatan. Sontak publik resah atas rencana itu.

“Kebangetan pemerintah. Masa sembako, sekolah, dan kesehatan mau dipajakin. Benar-benar tidak berpihak dengan rakyat,” protes Nurjanah, seorang ibu rumah tangga yang bermukim di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Sekarang saja, menurut Nurjanah, imbas isu PPN telah merengek harga sembako di pasar. Dari pantauan KONTAN di Pasar Jombang, Tangerang Selatan, beberapa harga sembako memang merangkak naik sejak isu PPN bergulir. Misalnya, harga beras mengalami kenaikan Rp 500 per kilogram (kg), daging ayam dan daging sapi naik Rp 1.500 per kg, dan ikan kembung naik Rp 1.000 per kg.

“Iya harga-harga ada yang mengalami kenaikan sejak ramai rencana pajak itu. Kasihankan dengan pembeli,” ujar Juminah, salah seorang pedagang di pasar tersebut.

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mengakui, isu yang berkembang perihal PPN sembako membuat psikologi pasar terganggu di tengah kepanikan dan kegaduhan soal PPN. Pada akhirnya, gejolak pasar itu memicu kenaikan harga sejumlah bahan pokok. Selain komoditas pantauan KONTAN, Ikappi juga mencatat kenaikan harga komoditas lain, seperti telur ayam, minyak goreng, bawang putih kating, dan bawang putih biasa.

Bila nanti PPN jadi dikenakan, Ikappi memastikan harga sembako akan melonjak lebih tinggi lagi. Belum lagi jika rantai pasok bermasalah. Kenaikan harga bahan pangan yang luar biasa fantasinya tak bisa terelakkan. Kondisi itu jelas makin membebani masyarakat di masa pandemi. Pedagang juga turut dirugikan karena omzet makin nyungsep.

“Kami kesulitan jual karena daya beli masyarakat rendah, ini malah mau ditambah PPN lagi. Kami akan melakukan upaya protes kepada Presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan kami para pedagang pasar,” ujar Abdullah Mansuri, Ketua umum Ikappi.

Mencuatnya polemik ini tak lepas dari rencana pemerintah mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di bawah 3% pada tahun 2023. Hal itu sesuai dengan mandat UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Covid-19.

Upaya memperkecil rasio defisit APBN itu yang bikin pemerintah nampak panik, sehingga muncul rencana yang membuat geger publik tersebut. Maklumlah, penerimaan pajak memainkan peranan penting dalam upaya memperkecil rasio defisit tersebut.

Persoalannya, bila hanya mengandalkan sumber penerimaan yang sudah ada, tidak mungkin penerimaan pajak bisa meningkat, sehingga upaya memperkecil rasio defisit APBN dipastikan bakal meleset. Selama ini saja, penerimaan pajak selalu di bawah target, terlebih di masa pandem Covid-19.

Tengok saja realisasi penerimaan pajak 2020 yang hanya Rp 1.070 triliun. Penerimaan itu terkontraksi 19,7% dibandingkan dengan 2019 yang mencapai Rp 1.332,7 triliun dengan pertumbuhan ekonomi 5,02%.

Sementara realisaasi penerimaan pajak hingga April 2021 sebesar Rp 374,9 triliun, turun 0,46% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Tapi seolah tak peduli ada pandemi, pemerintah terus mengerek naik target penerimaan perpajakan. Tahun ini, misalnya, targetnya sebesar Rp 1.444,5 triliun. Sementara tahun depan naik menjadi Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun.

Dalam kondisi kejar target pajak demi menekan defisit APBN itulah pemerintah belakangan rajin mengutak-atik jenis pajak apa yang bisa dinaikkan untuk menggenjot penerimaan pajak, Pilihannya jatuh pada PPN dengan pertimbangan fasilitas pembebasan PPN selama ini dinikmati oleh semua kalangan, baik kelas atas maupun kelas bawah.

Dalam konteks itulah, pemerintah berdalih, selain untuk penerimaan negara, perluasan tarif PPN menjadi salah satu instrumen yang tepat untuk mereformasi sistem perpajakan. “Jadi itulah variabel yang kami pikirkan supaya kebijakan yang dikeluarkan memenuhi beberapa kriteria yang ditetapkan,” ujar Suryo Utomo, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu).

RUU KUP

Mengacu draf RUU KUP racikan Kemkeu, pemerintah mengeluarkan dua jenis barang dan 11 jenis jasa dari daftar bebas PPN. Artinya, dua barang dan 11 jenis jasa tersebut akan dikenai PPN. Nah, dari kelompok barang dan jasa yang paling membetot perhatian adalah tiga hal tadi. Yakni rencana memajaki barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa layanan kesehatan.

Soal PPN sembako, misalnya, rencana pengenaan pajak diatur dalam pasal 4A. Pasal tersebut menghapus barang kebutuhan pokok dari kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Ketentuan itu bakal menggugurkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai PPN.

Barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. Sementara rencana pengenan PPN pada jasa pendidikan dan kesehatan diatur dalam pasal 4A ayat 3.

Munculnya pasal itu bakal menghapus PMK 011 Tahun 2014 dan PMK 82 Tahun 2012 yang masing-masing mengatur pembebasan jasa pendidikan dan kesehatan dari PPN. Dalam beleid tersebut, jasa pendidikan yang tidak dikenai PPN mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, hingga bimbingan belajar.

Sementara, jasa kesehatan yang bebas PPN meliputi dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. Kemudian, jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, ahli fisioterapi, dan jasa dokter hewan. Selanjutnya, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumahsakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium jasa psikologi dan psikiater, hingga jasa pengobatan alternatif.

Apakah semua jenis sembako atau layanan seperti diatur dalam beleid Menteri Keuangan itu otomatis bakal kena pungut PPN?

“Itu semua masih membutuhkan diskusi lebih lanjut dengan parlemen, baik itu terkait objek, tarif, maupun implementasinya,” ujar Suryo.

Namun, untuk tarif sudah ada sedikit gambaran. Dalam RUU KUP, ada tiga skema tarif PPN yang kemungkinan diterapkan, yaitu tarif umum, tarif berbeda (multi-tarif), dan tarif final. Untuk tarif umum akan dinaikkkan dari yang berlaku saat ini sebesar 10% menjadi 12% seperti disebut dalam pasal 7 ayat 1. Tarif ini akan dikenakan untuk barang di luar barang kebutuhan pokok dan barang super mewah.

Sementara, PPN multi-tarif diatur dalam pasal 7A ayat 2 yang menetapkan tarif paling rendah 5% dan paling tinggi 25%. Tarif tertinggi ini akan dikenakan untuk barang super mewah dan tarif 5% untuk barang kebutuhan pokok atau sembako.

Hanya, tarif batas bawah dalam skema multi tarif tidak dikenakan untuk semua jenis kebutuhan pokok. Bisa saja kebutuhan pokok seperti beras dan minyak dikenai PPN hanya 1% seperti yang saat ini sudah berlaku atas barang hasil pertanian tertentu. “Yang jelas, kebutuhan dasar harus dijaga pemerintah, tetapi seperti apa menjaganya harus didefinisikan,” ujar Suryo.

Namun demikian, apa pun skema tarif yang dipilih, jika pengesahan RUU KUP gol, maka ke depannya berbagai jenis sembako, jasa layanan pendidikan, dan kesehatan bakal terkena PPN.

Asal tahu, PPN merupakan pajak yang dipungut negara pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa oleh wajib pajak baik itu wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha yang berstatus pengusaha kena pajak (PKP).

Dengan demikian, pengenaan PPN otomatis membuat harga barang dan jasa terkerek naik. Persoalannya, barang dan jasa tersebut merupakan komoditas vital bagi seluruh lapisan masyarakat. Bila harganya naik, jelas saja efeknya kemana-mana; mulai daya beli turun hingga berdampak lesunya aktivitas bisnis akibat turunnya omzet usaha.

“Pada akhirnya ini akan memiliki dampak yang luar biasa, termasuk mempengaruhi minat investasi juga akibat daya beli yang menurun,” ujar Enny Sri Hartati, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Memiliki kekhawatiran yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga menyampaikan keberatan atas rencana penerapan PPN tersebut. Fauzi Amro, anggota Badan Anggaran DPR RI, menilai kebijakan itu hanya akan menambah beban masyarakat yang hidupnya sudah sulit terimpit pandemi.

“Kami menolak, karena itu berhubungan langsung dengan masyarakat luas,” ujar anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi NasDem ini.

Hanya premium

Pemerintah memastikan tidak semua sembako, sekolah, dan layanan kesehatan dikenai PPN.

Mendapat protes sana-sini, belakangan Kemkeu gencar meluruskan ke publik, bahwa tidak semua sembako, sekolah, maupun layanan kesehatan dikenai tarif PPN. Hanya kategori barang dan jasa kategori premium saja yang akan dikenai PPN. Untuk sembako yang dijual di pasar-pasar tradisional misalnya, dipastikan tetap bebas PPN.

“Agar tidak memperpanjang polemik publik, saya sampaikan bahwa barang kebutuhan pokok yang dikenakan adalah kebutuhan pokok yang premium,” ungkap Neilmaldrin Noor, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemkeu.

Contohnya komoditas beras lokal jenis rojolele hingga pandan wangi akan terbebas dari PPN karena banyak dikonsumsi masyarakat. Namun, untuk beras premium seperti beras basmati dan beras shirataki yang harganya lima sampai 10 kali lipat dari harga beras lokal akan dipungut PPN.

Begitu juga dengan komoditas lain seperti daging sapi. Daging sapi yang akan dipungut pajak adalah sekelas daging sapi kobe dan daging sapi wagyu yang harganya sekitar 10-15 kali lipat dari harga daging sapi biasa.

Sama halnya sembako, tidak semua sekolah juga dipajaki. Pemerintah hanya memajaki sekolah orang-orang kaya alias sekolah premium. Tolak ukur sekolah premium itu, salah satunya, akan dilihat dari besarnya iuran atau sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang harus dibayar oleh orang tua murid di sekolah tersebut.

Jika iuran melewati ambang batas yang diatur pemerintah, maka sekolah tersebut wajib membayar PPN. Sementara sekolah subsidi maupun sekolah sosial kemungkinan tidak akan dikenai tarif PPN.

Begitu juga dengan layanan kesehatan, yang berpotensi dipajaki adalah layanan kesehatan di luar kesehatan mendasar. “Seperti perawatan ke klinik kecantikan atau klinik kesehatan yang menyediakan jasa operasi plastik itu bisa dipajaki,” ujar Yustinus Prastowo, Staf Khsus Menteri Keuangan.

Prinsipnya, pengenaan PPN menerapkan aspek ability to pay, yaitu membayar pajak sesuai kemampuan orang yang mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Tidak seperti selama ini, orang kaya yang mengakses barang atau sekolah mahal juga menikmati fasilitas pembebasan PPN.

Tapi apa pun argumentasi yang disampaikan pemerintah tetap sulit diterima. Meskipun pemerintah mengklaim, kebijakan itu diarahkan pada prouduk-produk yang dikonsumsi kalangan menengah ke atas, Ikappi tetap menolak rencana pengenaan PPN terhadap sembako.

Pasalnya, pengenaan PPN untuk sembako kategori premium tetap akan berdampak terhadap harga kebutuhan pokok sejenis, sehingga konsumen dan pedagang tetap menjadi pihak yang turut dirugikan. “Tetap saja kebijakan itu akan berdampak secara keseluruhan,” kata Abdullah.

Sumber: Tabloid Kontan, 21 Juni – 27 Juni 2021 hal 20-21

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only