Hilir Minta Kelonggaran Insentif

JAKARTA — Revisi pungutan ekspor terhadap produk minyak sawit mentah atau CPO beserta turunannya diyakini mampu mempertahankan struktur ekspor yang didominasi oleh produk hilir. Akan tetapi, pelaku usaha tetap berharap banyak pada selisih pungutan yang lebar agar bisa dirasakan manfaatnya sebagai insentif. 

Lewat penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pemerintah secara resmi mengubah batas pengenaan tarif progresif dari semula pada harga CPO US$670 per ton menjadi US$750 per ton.

Saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton maka tarif pungutan ekspor ditetapkan sebesar US$55 per ton untuk pro-duk CPO. 

Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton akan diikuti dengan kenaikan tarif pungutan sebesar US$20 per ton untuk produk CPO dan US$16 per ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$1.000 per ton. 

Kenaikan tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan aturan terdahulu. Meski perbedaan besaran kenaikan tarif antara produk hulu dan hilir lebih sempit, pemerintah tercatat tetap mempertahankan selisih tarif total sebesar US$20 per ton antara produk hulu dan hilir. 

Misalnya, tarif dasar untuk CPO pada kolom pertama tetap dipatok US$55 per ton dan untuk produk refined, bleached, and deodorized(RBD) palm oil sebesar US$35 per ton.

“Sebenarnya [selisih total pungutan] sama dengan sebelumnya, karena yang diturunkan hanya batas atas. Tentunya [industri] hilir berharap ada perbedaan yang lebih besar, sehingga memberikan insentif yang lebih kepada hilir yang telah melakukan investasi pengolahan produk turunan sawit,” kata Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Bernard Riedo, Selasa (29/6).

Sebagian besar ekspor produk minyak sawit Indonesia tercatat didominasi oleh produk hilir. 

Meski pangsa di pasar global masih mendominasi, Indonesia juga menghadapi tantangan, terutama dari sisi produk kemasan.

Ke depannya, Bernard mengharapkan agar produk berorientasi ekspor seperti minyak goreng kemasan bisa menjadi pertimbangan untuk pengenaan tarif pungutan ekspor yang lebih rendah.

Alhasil, volume ekspor minyak goreng kemasan ke kawasan yang potensial seperti Afrika bisa makin dipacu.

“Kami harap untuk produk yang berorientasi ekspor bisa dipertimbangkan untuk tarif yang lebih rendah. 

Levy yang rendah akan mendorong daya saing produk kita, terutama untuk destinasi yang membutuhkan produk langsung konsumsi. Dengan demikian, daya saing produk minyak goreng kemasan tujuan ekspor kita lebih bersaing daripada Malaysia.”

JAGA DOMINASI

Terlepas dari harapan tersebut, Bernard menyatakan pihaknya menyambut baik upaya pemerintah yang mempertahankan selisih pungutan antara produk hulu dan hilir. 

Selain itu aturan main tersebut diharapkan memberi kepastian usaha dan efektif mencegah aksi spekulasi harga. 

Dia juga optimistis dominasi ekspor hilir dapat dipertahankan dengan pengenaan tarif yang baru.

Sementara itu, Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan periode 2011–2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB University, mengatakan bahwa struktur ekspor CPO dan upaya penghiliran bisa tetap terjaga selama selisih pungutan antara produk hulu dan hilir sebesar US$20 per ton tidak diubah. 

“Masih lebih besar kenaikan untuk produk mentah,” ujarnya membandingkan.

Besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit termasuk CPO dan produk turunannya ditetapkan berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan dengan cut off perhitungan pungutan tarif tersebut adalah tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku 7 hari setelah diundangkan pada 25 Juni 2021, sehingga akan efektif pada 2 Juli 2021. 

Sesuai PMK tersebut, batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO US$670 per ton menjadi US$750 per ton. 

“Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton maka tarif pungutan ekspor tetap yaitu misalnya untuk tarif produk crude sebesar US$55 per ton,” kata Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Eddy Abdurrachman, Selasa (29/6).

Penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor didasari visi untuk meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani kelapa sawit. 

Selain itu ditujukan pula untuk menjamin keberlanjutan pengembangan layanan pada program pembangunan industri sawit nasional yang mencakup perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit dan penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel.

Kementerian Perdagangan memastikan bahwa selisih kenaikan tarif pada PE produk CPO dan turunannya telah mempertimbang-kan dampaknya terhadap daya saing industri sawit dari hulu ke hilir. 

“Kami berharap adanya peningkatan kompetisi pada industri hilir di dalam negeri, terutama persaingan dengan industri di luar negeri. 

Hal ini akan memberikan insentif bagi pelaku industri hilir sawit domestik untuk terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri kepada Bisnis, seraya menambahkan aspek harga tandan buah segar juga menjadi pertimbangan dalam penerbitan aturan itu. 

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono memastikan minat penghiliran industri minyak sawit tetap tinggi dengan adanya perubahan tarif pungutan ekspor meski selisih kenaikan tarif cenderung lebih sedikit. 

Hal ini, menurut dia, setidaknya terlihat jelas dari produksi biodie-sel yang berlanjut seiring dengan kucuran insentif yang tersedia.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only