Mengincar PPh dari 100 Perusahaan Multinasional

Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 sepakati sistem perpajakan internasional

JAKARTA. Setelah lebih dari satu dekade diskusi, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yang tergabung dalam forum G20 menyepakati sistem perpajakan internasional dengan ditetapkannya Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalization and Globalization of the Economy.

Kesepakatan ini mencakup dua pilar yang bertujuan untuk memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan memberikan kepastian hukum dalam mengatasi Base Erosion Profit Shifting (BEPS), akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Febrio Kacaribu bilang, dengan kesepakatan Pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional, berhak memajaki penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional.

Syaratnya, perusahaan multinasional ini memiliki omzet € 20 miliar dengan keuntungan yang tinggi, minimum 10% dari omzet, sebelum pajak.

“Indonesia berkesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia,” kata Febrio Kamis (15/7).

Sementara kesepakatan Pilar II, ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya. Perusahaan multinasional dengan minimum omzet konsolidasi sebesar € 750 juta, harus membayar pajak penghasilan dengan dengan tarif minimum 15% kepada negara domisili.

Pilar II ini menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan race to the bottom, sehingga bisa menghadirkan sistem perpajakan internasional yang adil dan inklusif. “ Indonesia berpeluang mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif PPh efektif dibawah 15%,” ujar Febrio.

Namun, Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan menarik investasi. Sehingga, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak, tapi fundamental.

Persetujuan global ini disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD atau G20 Inclusice Framework on BEPS. Selanjutnya kesepakatan teknis ini akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentra G20 Oktober 2021.

Targetnya kesepatakan pemajakan global ini bisa ditandatangani pada 2022 dan berlaku efektif mulai 2023.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, konsensus perpajakan internasional ini menguntungkan Indonesia sebagai negara yang diterpa penghindaran pajak.

Pada Pilar I, perusahaan yang tidak punya kehadiran fisik bisa dipajaki. Menurut Fajry, dengan konsensus ini maka pada 2023 mendatang potensi penerimaan dari pajak digital dapat terus menggeliat.

Terlebih, beberapa perusahaan digital asing saat ini sudah diwajibkan untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN). Data pemungutan PPN ini bisa menjadi dasar untuk mengenakan PPh mereka.

“Sementara dalam pilar II, tentu mencegah tekanan tarif PPh badan lebih mendalam dengan adanya tarif yang berlaku secara internasional,” kata Fajry.

Sumber : Harian Kontan 16 Juli 2021, Halaman : 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only