Alternatif Utang ke Lembaga Internasional

JAKARTA. Utang pemerintah Indonesia berisiko membengkak di tengah keterbatasan fiskal saat ini pandemic Covid-19. Karena itu Pemerintah harus menyusun strategi serius untuk mengurangi risiko ini. Berbagai lembaga telah mengingatkan pemerintah Indonesia atas risiko hutang ini. Pekan lalu, Moody’s memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahu 2023 berpotensi membengkak melampaui 45% dari PDB.

“Pemerintah Indonesia tetap focus untuk melindungi kelompok rentan terhadap dampak ekonomi pandemi yang menyebabkan membengkaknya belanja, di saat pertumbuhan pendapatan masih belum pulih secara signifikan,” kata Vice President-Senior Analyst Moody’s Anushka Shah dikutip Senin (26/7).

Akibat pandemic, rasio utang pemerintah pada tahun 2020 tembus 39,8% dari PDB, atau naik dibandingkan dengan akhir 2019 sebesar 31% dari PDB. Beban pembayaran bunga utang tahun 2020 juga naik jadi 20,6% dari pendapatan, padahal 2019 masih sebesar 14,1% dari pendapatan.

Namun Moody’s mengapresiasi usulan strategi reformasi pendapatan jangka menengah, baik peningkatan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), maupun perluasan basis pajak penghasilan (PPh) perseorangan. Walaupun Moody’s melihat ada tantangan berat dalam upaya mendongkrak penerimaan, terutama dari sisi dukungan politik.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga memperkirakan utang pemerintah pada tahun 2023 akan jauh lebih besar dari target pemerintah. Bahkan ia memperkirakan, bisa lebih dari 55% dari PDB tahun 2023.

Untuk itu, pemerintah perlu menggenjot penerimaan negara. Jika terpaksa berutang, Bhima lebih menyarankan pemerintah menarik pinjaman ketimbang menerbitkan surat berharga negara (SBN) karena bunga pinjaman lebih murah. “Pinjam ke Bank Dunia bunganya 2%-3% per tahun. Sementara (imbal hasil) penerbitan SBN 6% hingga 7% per tahun,” kata Bhima kepada KONTAN, kemarin.

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky juga sependapat jika pemerintah bisa memanfaatkan momentum untuk menarik pinjaman karena bunga yang lebih murah, di bawah bunga pasar.

Namun, jumlah pinjaman memang sangat terbatas. Selain itu, lembaga internasional biasanya memprioritaskan pinjaman bagi negara miskin.

Menanggapi ini Direktur Jendral (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemkeu) Luky Alfirman menyatakan pemerintah tetap menjaga defisit anggaran sesuai target. Di sisi lain, pemerintah akan menggunakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiL-PA) dan sumber lainnya untuk mengurangi utang baru.

Sumber : Harian Kontan Selasa 27 Juli 2021, Halaman : 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only