Bisa kerek beban produksi, Inaplas keberatan dengan rencana pajak karbon

Jakarta. Pemerintah berencana memungut pajak karbon dan akan diberlakukan mulai 2022. Rencana tersebut tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Aturan itu menyebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono dengan tegas menolak rencana pengenaan pajak karbon, karena akan membebani ongkos produksi industri mencapai USD10/ton dan ini jelas akan membebani masyarakat dan memperburuk iklim usaha.

“Di saat situasi pandemi ini yang serba sulit, pemerintah jangan lagi membebani sektor usaha dengan regulasi yang berat, karena beban pelaku usaha atas pengenaan pajak atas emisi karbon itu bakal memperburuk iklim usaha dan yang lebih ekstrim lagi akan terjadi banyak PHK,” ungkap Fajar dalam keterangannya, Rabu (4/8).

Menurutnya rencana pemerintah memungut pajak karbon sulit diwujudkan sejalan dengan masih belum meredanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada lesunya dunia usaha dan menurunnya daya beli masyarakat.

“Efek ke dunia usaha pasti besar, karena pasti menambah beban produksi, yang ujungnya juga akan ditanggung masyarakat selaku konsumen. Sementara saat ini pandemi Covid-19, daya beli masyarakat menurun. Demikian juga dengan dunia usaha, semua sektor turun dan banyak perusahaan kinerjanya turun, meskipun itu perusahaan besar,” paparnya.

Fajar mengatakan pajak karbon akan memberikan efek domino kepada sektor usaha lainnya, karena beban produksi yang berat, kita akan kebanjiran bahan impor, berdampak pada penurunan daya saing industri di tengah gempuran impor, selain tentunya memperburuk iklim investasi.

“Pajak karbon, tentu akan membuat produk impor semakin menguasai pasar domestik. Di mana negara industri kuat seperti China, Amerika Serikat, dan India tidak menerapkan kebijakan ini. Rencana penerapan pajak karbon ini ibaratnya membuat industri sudah jatuh tertimpa tangga,” tukasnya.

Lebih lanjut Fajar melihat sejumlah industri padat energi sudah mengupayakan aktivitasnya agar lebih ramah lingkungan. “Industri sudah melakukan beberapa inovasi untuk proses produksi, bahan baku, dan penggunaan bahan bakar alternatif. sudah memanfaatkan limbah, demikian juga industri  lainnya sudah melakukan efisiensi.

Di tempat berbeda, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memaparkan, Kemenperin memiliki dua strategi untuk mewujudkan industri hijau, yakni menghijaukan industri yang sudah ada dan membangun industri baru dengan prinsip industri hijau. Berdasarkan hasil dari program Penghargaan Industri Hijau tahun 2019, tercatat penghematan energi sebesar Rp3,5 triliun, dan penghematan air sebesar Rp228,9 miliar.

Selain itu, lanjut Agus, untuk menumbuhkan industri yang berdaya saing, efisien, dan hijau adalah dengan mengadopsi prinsip ekonomi sirkular. Diketahui, industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sejalan dengan program Making Indonesia 4.0 sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat.

Penerapan industri hijau merupakan upaya pencegahan terhadap emisi dan limbah, yang berhubungan erat dengan hasil penilaian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER).

Pengembangan Industri Hijau yang menjadi ikon saat ini sangat selaras dengan keinginan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Menurut Agus, ekonomi hijau akan mengarahkan ekonomi Indonesia menjadi lebih efisien dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas dan berupaya memperbaiki kondisi lingkungan yang sudah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.

Pengembangan Industri Hijau menjadi tumpuan dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Develompent Goals (SDGs), yang telah diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

Dalam mewujudkan SDGs, sektor industri “berkontribusi pada pencapaian SDGs tentang air; energi; pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja; industri dan infrastruktur; produksi dan konsumsi keberlanjutan; serta aksi perubahan iklim,” papar Agus

Terkait aksi perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen atau setara dengan 834 juta ton CO2-ekuivalen secara mandiri dan sebesar 41% atau setara dengan 1,08 miliar ton CO2-ekuivalen apabila mendapatkan bantuan internasional.

Sektor industri berkontribusi terhadap penurunan gas rumah kaca untuk tiga sumber emisi, yaitu energi; proses industri dan penggunaan produk; dan pengelolaan limbah industri. Adapun beberapa aksi perubahan iklim dengan menerbitkan pedoman penghitungan dan aksi mitigasi, pelatihan dan pendampingan untuk industri, serta aktif dalam kerjasama aksi perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon baik nasional, regional, maupun internasional. Hasil capaian aksi mitigasi dilaporkan oleh industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas).

Dalam mewujudkan tujuan Penyelenggaran Bidang Perindustrian, Kementerian Perindustrian menjalankan beberapa program, antara lain Program Pengendalian Perubahan Iklim, Pembangunan Rendah Karbon, serta Manajemen dan Efisiensi Energi.”Dalam mendukung program-program tersebut, maka kebijakan dan penerapan prinsip-prinsip industri hijau dapat menjadi jawaban dalam menyelaraskan program-program di atas,” pungkas Menperin.

Sumber: kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only