Senjata Makan Tuan Relaksasi Pajak Badan

Kebijakan relaksasi pajak korporasi bak senjata makan tuan. Alih-alih mampu mengisi kantong negara sejalan dengan besarnya minat perusahaan untuk berinvestasi, kebijakan ini justru dituding sebagai kambing hitam dari suramnya prospek penerimaan pajak pada tahun depan.

Relaksasi tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan diakomodasi melalui Undang-Undang (UU) No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam regulasi tersebut, tarif pajak untuk korporasi dipangkas dari 25% menjadi 22% pada tahun lalu dan tahun ini, kemudian kembali diturunkan menjadi 20% pada tahun depan.

Tarif tersebut berlaku bagi wajib pajak dalam negeri dengan ketentuan berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) paling sedikit 40%.

Persoalannya, kini pemerintah mengambinghitamkan kebijakan pelonggaran tarif itu sebagai penekan beratnya target penerimaan pajak pada tahun depan yang ditetapkan senilai RpRp1.262,9 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak pada tahun depan belum bisa berakselerasi menyusul berlanjutnya pemangkasan tarif pajak bagi korporasi. Terlebih, setoran PPh Badan selama ini menjadi sumber utama kas negara.

“Kalau ekonomi lebih kuat kita akan mendapat penerimaan pajak lebih besar. Namun kebetulan PPh Badan [pada 2022] akan kembali turun sebesar 20%. Ini yang menyebabkan penerimaan pajak tidak kuat,” kata Menkeu, pekan lalu.

Dia menambahkan, relak-sasi tarif PPh Badan merupakan salah satu amanat dari klaster perpajakan di dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Untuk mengompensasi hilangnya potensi penerimaan dari kebijakan ini, otoritas fiskal akan terus melakukan reformasi di bidang perpajakan serta lebih selektif dalam memberikan insentif.

“Reformasi dilakukan melalui perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan rasio perpajakan,” kata dia.

Sementara itu, di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pemerintah menyadari besarnya potensi pajak yang hilang dari kebijakan ini.

Di satu sisi, relaksasi tarif pajak korporasi dimaksudkan untuk memberikan stimulus bagi ekonomi. Namun di sisi lain kebijakan ini berimplikasi pada risiko penurunan penerimaan perpajakan dalam jangka pendek.

“Pemerintah telah memperhitungkan penurunan potensi pajak terkait aturan dimaksud dalam RAPBN tahun anggaran 2022,” tulis dokumen RAPBN 2022 yang dikutip Bisnis.

PPh Badan tidak hanya dijadikan kambing hitam pada suramnya prospek penerimaan tahun depan. Pemerintah juga menuding relaksasi tarif menjadi salah satu rendahnya realisasi belanja perpajakan atau tax expenditure pada tahun lalu.

Menurut catatan Bisnis, estimasi belanja perpajakan pada 2020 mencapai Rp234,9 trilun atau 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Jumlah tersebut menjadi yang terendah dalam 3 tahun terakhir atau sejak 2018. Faktanya, pada tahun lalu otoritas fiskal cukup banyak mengumbar insentif atau stimulus pajak.

Sekadar informasi, pada 2019 ketika kucuran insentif tidak sederas tahun lalu, total belanja perpajakan tercatat mencapai Rp272,1 triliun.

Belanja perpajakan yang terbatas berimbas pada kurang maksimalnya pemulihan ekonomi, karena insentif fiskal yang disediakan oleh pemerintah tidak terserap dengan kencang.

Adapun belanja perpajakan untuk PPh pada 2020 hanya Rp80,6 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp104,3 triliun.

DALIH PEMERINTAH

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor berdalih, perubahan benchmark tarif umum PPh Badan pada 2020 dari 25% menjadi 22% mengakibatkan penurunan estimasi belanja perpajakan untuk jenis pajak PPh.

“Ini mengakibatkan menurunnya estimasi belanja perpajakan PPh, perubahan basis data serta penyempurnaan metodologi untuk jenis pajak PPh,” kata dia.

Neil menambahkan, total belanja perpajakan 2020 pada dasarnya sudah termasuk insentif pajak untuk penanganan dampak Covid-19.

Namun demikian, terdapat berbagai jenis insentif perpajakan lain yang tidak termasuk dalam definisi belanja perpajakan, karena sifatnya hanya menggeser pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak.

“Seperti pembebasan PPh Pasal 22, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 [Badan], serta pengembalian pendahuluan PPN [Pajak Pertambahan Nilai],” ujarnya.

Berkaca pada data, fakta, serta argumentasi otoritas fiskal di atas, pemerhati pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar pesimistis target penerimaan pajak pada tahun depan dapat terealisasi.

Terlebih, ketidakpastian ekonomi masih cukup tinggi sejalan dengan belum maksimalnya penanganan dan pengendalian wabah virus corona.

“Kami melihat target penerimaan pajak masih terlalu optimistis melihat aktivitas dunia usaha yang belum sepenuhnya pulih dan juga kebijakan penurunan tarif PPh Badan,” ujarnya.

Relaksasi pajak korporasi sebenarnya memiliki tujuan yang cukup mulia, yakni menarik minat investasi di Tanah Air karena tarif yang ditawarkan cukup kompetitif. Hanya saja, momen dari implementasi aturan tersebut kurang mendukung.

Di tengah tekanan pandemi Covid-19, muskil bagi korporasi untuk melakukan ekspansi. Artinya, selama hawar belum mendapat penawar, berbagai kemudahan yang ditawarkan pemerintah tidak akan efektif untuk menarik investasi.

Namun demikian, bukan berarti pemerintah bisa mengkambinghitamkan aturan yang sudah diterapkan sebagai biang tidak tercapainya penerimaan pajak.

Argumentasi Menkeu di atas mencerminkan bahwa pemerintah kurang bijak dalam menyikapi dinamika pandemi dan dampaknya terhadap geliat bisnis.

Seharusnya, otoritas fiskal lebih cermat dalam melakukan kalkulasi, serta menggali potensi penerimaan dari sumber baru dalam rangka mengompensasi tergerusnya setoran dari wajib pajak korporasi. 

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Senin 30 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only