Ada Potensi Manufaktur Ngegas di Akhir Tahun

Meski di zona kontraksi, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Agustus naik ke level 43,7.

JAKARTA. Kinerja manufaktur Indonesia kembali menunjukkan perbaikan, meski masih berada dalam fase kontraksi. Pelonggaran mobilitas masyarakat, diharapkan menjadi katalis bagi perbaikan sektor ini pada akhir tahun.

IHS Markit mencatat: Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan Agustus sebesar 43,7. Angka ini naik tipis dar posisi 40,1 pada bulan Juli 2021. Meski demikian, kinerja industri manufaktur, masih dalam zona kontraksi.

Direktur Asosiasi Ekonomi di IHS Markit Jingyi Pan mengatakan, sektor manufaktur Indonesia masih terus terdampak oleh gelombang kedua Covid-19. Meski pada bulan Agustus tidak separah Juli.

“Ini sejalan dengan penurunan Covid-19 di Indonesia. Hal ini terlihat dari berkurangnya tingkat penurunan permintaan dan output, bila dibandingkan dengan Juli 2021,” kata Jingyi dalam keterangannya, Rabu (1/9).

Sayannya, gangguan rantai pasokan akibat Covid-19 masih terjadi pada bulan Agustus 2021. Sebab, perusahaan mencatat penurunan performa pemasok dan peningkatan tekanan harga berkelanjutan.

Sementara itu, kepercayaan bisnis perusahaan Indonesia, menurun dari bulan Juli 2021, meski gelombang Covid-19 mereda. Pengusaha memandang pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah masih membebani permintaan dan produksi. Alhasil, mereka pun masih waspada dan membatasi jumlah tenaga kerja.

“Ini terlihat dari akuisisi inventaris pra-produksi dan kondisi ketenagakerjaan yang menurun,” tambahnya.

Meski demikian, pengusaha nampak lebih optimistis terkait prospek industri manufaktur ke depan. Tingkat kepercayaan bisnis terkait produksi 12 bulan mendatang secara keseluruhan tetap berada di atas rata-rata survei.

Fajar Budiono Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) melihat, kinerja manufaktur baru akan kembali ke zona ekspansif alias indeks kembali naik ke atas level 50 pada awal 2022 mendatang.

Namun, sejumlah hal perlu dibenahi agar industri manufaktur makin membaik. Pertama, percepatan vaksinasi sehingga tercipta herd immunity. Kedua, penyelesaian masalah kelangkaan kontainer lantaran hal ini menghambat kinerja ekspor industri manufaktur.

“Sebagai contoh, sebenarnya kinerja Agustus 2021 ini sudah bagus, tetapi terkendala dari sisi ekspor karena kelangkaan kapal dan kontainer. Gudang penuh, sehingga ini jadi salah satu penghalang ekspansi bisnis kata Fajar (1/9).

Dukunan insentif

Ketiga, Inaplas meminta pemerintah tidak menerapkan pajak karbon (carbon tax) dalam waktu dekat karena tidak pro industri. Kebijakan ini membebani industri dan bisa menghambat pemulihan ekonomi. “Kami lebih setuju penerapan carbon trading,” tandasnya.

Ekonom Center or Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy melihat, pelonggaran PPKM di beberapa daerah memberikan andil peningkatan indeks manufaktur. Jika pelonggaran seiring penurunan kasus Covid-19 terus dilakukan, bisa jadi sinyal positif bagi pelaku usaha untuk ekspansi.

Pelonggaran aktivitas juga menggerakkan roda perekonomian sehingga daya beli masyarakat terhadap produk manufaktur akan kembali ekspansi kuartal IV-2021.

Tapi, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengingatkan risiko tapering off bisa berdampak pada kurs rupiah. Hal ini membuat harga bahan baku impor maupun barang modal naik.

Karena itu ia menyarankan pemerintah tidak buru-buru memangkas stimulus bagi industri hingga 2022. Sebab industri butuh dukungan, terutama diskon listrik dan insentif pajak.

Sumber: Harian Kontan, Kamis 02 September 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only