Strategi Pajak di Tengah Kebijakan “Countercyclical”

Kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19 memaksa pemerintah untuk menerapkan kebijakan countercyclical. Dalam skema kebijakan ini, pemerintah meningkatkan pengeluaran negara dan memangkas pemungutan pajak. Meningkatnya pengeluaran negara merupakan kompensasi atas kebijakan pembatasan sosial di ruang publik. Kompensasi ini menyasar rumah tangga dan pelaku usaha kecil dan menengah. Tujuannya adalah menciptakan kekuatan berimbang pada sisi permintaan dan penawaran.

Sementara itu pada sisi penerimaan, pemerintah melakukan relaksasi pajak untuk wajib pajak pribadi dan badan usaha. Beberapa diantaranya adalah PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), pembebasan PPh Pasal 22 impor, pengurangan 30% angsuran PPh Pasal 25, insentif pajak UMKM, dan beberapa lainnya.

Relaksasi pajak berdampak pada menurunnya penerimaan negara. Kontraksi sumber utama penerimaan negara ini tentu berdampak pada kemampuan pembiayaan negara. Untungnya pemerintah menyiasati kebutuhan pembiayaan selama pandemi ini dengan menerbitkan Surat Utang Negara, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), obligasi global, dan melalui skema burden sharing bersama Bank Indonesia.

Relaksasi pajak selama periode pandemi meneruskan tren tak kunjung meningkatnya tax ratio Indonesia. Pada 2018, tax ratio Indonesia dalam arti luas berada di level 11,5%. Sementara itu, tax ratio Indonesia pada 2019 berada di level 11,9%. Hantaman pandemi Covid-19 pada 2020 menyebabkan rasio pajak dalam arti luas hanya sebesar 8,94%. Menurunnya rasio pajak ini semakin menjauhkan Indonesia dari rasio pajak ideal yakni sebesar 15%.

Selain akibat relaksasi, penurunan penerimaan pajak sepanjang tahun 2020 juga diakibatkan oleh melemahnya konsumsi dan perlambatan ekonomi. Melemahnya konsumsi masyarakat berpengaruh langsung terhadap penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain konsumsi rumah tangga, pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman, restoran, hotel, pakaian, dan transportasi juga mengalami penurunan.

Pada sisi badan usaha, menurunnya laba usaha dan sewa berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Menurunnya kemampuan pelaku usaha mendorong fenomena pemutusan hubungan kerja. Beberapa fenomena ini kemudian menurunkan penerimaan negara terutama dari PPh Badan, PPh Pasal 21, dan PPN DN. Terhadap PPN DN, pemerintah juga memberikan insentif restitusi atau pengembalian pendahuluan dengan anggaran sebesar Rp 5,8 triliun (Warsito dan Samputra, 2020).

Angin segar penerimaan pajak di Indonesia diembuskan melalui Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pajak ini menyasar pelaku bisnis yang melakukan aktivitas bisnis melalui platform marketplaceonline retail, classified ads, daily deals, dan media sosial (Wijayanti,2020). Pengenaan PPN ini sangat relevan karena PPN menganut prinsip destinasi, artinya bahwa pajak dikenakan di mana barang atau jasa dikonsumsi.

Di Indonesia, realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) semester I tahun 2021 mencapai Rp 1,64 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan periode Juli-Desember 2020 yang sebesar Rp 915,7 miliar. Sejauh ini, Indonesia mengantongi 75 badan usaha sebagai basis PPN PMSE. Artinya bahwa Indonesia memiliki potensi penerimaan yang besar dari sektor digital.

Direktorat Jenderal Pajak memproyeksi bahwa potensi pajak digital dari berbagai platform seperti Youtube, e-commerce, dan financial technology (fintech) mencapai Rp 6,8 triliun. Hal ini juga linier dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 64,6% atau sebesar 171 juta jiwa.

Dalam jangka pendek terutama pada masa pandemi Covid-19, pajak digital membantu menalangi tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah. Sementara itu, dalam jangka panjang pajak digital akan membantu meningkatkan rasio pajak Indonesia. Meningkatnya rasio pajak secara normatif dapat mengakselerasi peningkatkan kinerja ekonomi Indonesia terutama dalam menciptakan kesejahteraan yang merata, adil, dan berimbang.

Strategi Populis


Di tengah praksis kebijakan countercyclical, pemerintah perlu menata kembali menyoal tata kelola perpajakan di Indonesia. Pandemi Covid-19 ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi kelembagaan di sektor perpajakan. Legasi persoalan di sektor perpajakan kiranya dapat diselesaikan dengan grand design perpajakan yang tepat. Perbaikan tata kelola ini kemudian mengakselerasi pemulihan ekonomi dan dalam jangka panjang mendorong peningkatan rasio pajak di Indonesia.

Beberapa strategi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menunjang kebijakan perpajakan terutama pada periode pandemi Covid-19 ini. Pertama, mengidentifikasi wajib pajak potensial. Pemerintah perlu secara berkala memantau wajib pajak dengan sektor usaha yang mengalami pertumbuhan. Yang potensial saat ini adalah pajak sektor digital.

Kedua, pentingnya perluasan basis pajak. Perluasan basis pajak menganut prinsip pemerataan; semua wajib pajak merupakan sumber penerimaan, bukan hanya bertumpu pada wajib pajak patuh dan pembayar pajak dengan nilai terbesar. Strategi ini salah satunya dikemas melalui kebijakan tax amnesty.

Ketiga, mengoptimalkan hubungan bilateral-multilateral dalam menyingkap para wajib pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri. Strategi ini telah difasilitasi oleh kerja sama anti penghindaran pajak melalui pengalihan laba ke negara lain (Base Erosion Profit Sharing) dan pertukaran data informasi keuangan (Automatic Exchange of Information).

Keempat, penegakan hukum secara konsekuen dan berkeadilan. Penegakan hukum menjadi salah satu langkah populis dalam meningkatkan kepatuhan pajak wajib pajak. Beberapa strategi ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak sehingga memperkuat kemampuan pembiayaan pemerintah di waktu mendatang.

Sumber: news.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only