Ada Tax Amnesty II, Orang RI Bisa Tak Percaya & Bayar Pajak

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati untuk mewujudkan lagi pengampunan pajak atau Tax Amnesty jilid II melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pengampunan pajak di dalam RUU HPP diberi nama dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak. Sudah disepakati, RUU HPP kini tinggal menunggu untuk disahkan menjadi undang-undang pada pekan depan.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan adanya Tax Amnesty Jilid II akan menurunkan kredibilitas pemerintah.

Saat Tax Amnesty pada 2016-2017 silam pemerintah membujuk wajib pajak untuk ikut tax amnesty dengan iming-iming stimulus bagi yang patuh. Di sisi lain memberikan hukuman apabila ada yang terbukti tidak patuh.

Seperti diketahui, Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disebutkan bahwa pengampunan pajak hanya berlaku satu kali saja, dengan periode Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.

Apabila ada perlakuan harta yang belum atau kurang diungkap mengenai harta wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, maka wajib pajak dikenakan sanksi administrasi sebesar 200% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang bayar.

“Sekarang pemerintah tidak konsisten, tidak ada tindak lanjut hukuman tersebut. Mereka justru mendapatkan kesempatan kedua untuk diampuni,” jelas Piter kepada CNBC Indonesia dikutip Jumat (1/10/2021).

“Ketidakkonsistenan pemerintah ini berpotensi menurunkan kepatuhan wajib pajak di masa depan,” kata Piter melanjutkan.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid juga menyayangkan adanya program Tax Amnesty Jilid II yang dituangkan dalam RUU HPP ini.

Menurut Ahmad, filosofi Tax Amnesty adalah kebijakan pengampunan pajak ketika suatu waktu banyak wajib pajak yang tidak melapor, termasuk yang tidak terdata di dalam negeri.

“Tax amnesty itu kan memang ada potensi pajak sebenarnya yang besar, tidak terlapor atau di luar negeri, berlangsung sekian lama, di monitor lama dan tidak masuk ke sistem perpajakan kita,” ujar Ahmad.

“Ini agak berbeda dengan tax amnesty jilid II dan sebenarnya gak pas untuk masuk ke ranah sebagai sumber pendapatan yang menurut saya agak politik. Ini seperti masuk ke dalam wilayah untuk menyamarkan,” kata Ahmad melanjutkan.

Adanya Tax Amnesty jilid II ini, kata Ahmad akan menurunkan motivasi bagi masyarakat untuk membayar pajak.

“Karena orang akan menunggu ada pemutihan dan orang akan menunda dan menunggu Tax Amnesty ini. […] Karena orang mencari ketika tarif lebih rendah dan tidak ada denda, orang pribadi dan badan usaha akan memilih tarif yang lebih rendah. Apalagi ini tidak ada sanksi dan sebagainya,” jelas Ahmad.

Padahal, pasca bergulirnya Tax Amnesty, pemerintah mulai berkomitmen untuk membuka seluruh akses informasi terkait keuangan, dan hal tersebut diimplementasikan melalui automatic exchange of information (AEoI).

Dari AEOI itu diketahui jutaan akun keuangan milik warga negara Indonesia (WNI) yang sebelumnya tersimpan diam-diam di suaka pajak (tax haven) mulai tercium.

Pada 2020, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sudah punya setumpuk data wajib pajak hasil pertukaran data dengan otoritas pajak di negara lain.

Jumlah data wajib pajak yang terkumpul dari hasil AEoI mencapai 1,6 juta data. Dari data itu nilai aset wajib pajak diperkirakan mencapai EUR 246,6 miliar atau setara Rp 3.684,7 triliun dengan asumsi kurs EUR IDR Rp 14.942/Euro.

“Pemerintah bisa memanfaatkan AEoI, tapi saya membaca tidak ke arah situ. Seharusnya komitmen lah apa yang disampaikan beberapa tahun lalu, bahwa ini penting,” jelas Ahmad.

“Jadi jangan karena desakan politik, karena saya dengar sebenarnya ini bukan inisiatif pemerintah, tapi dari parlemen dan yang lain, bahwa ini (Tax Amnesty) harus jadi bagian dari Undang-Undang Pajak,” kata Ahmad melanjutkan.

Seperti diketahui, amnesti pajak adalah adalah program pengampunan yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak yang tidak melaporkan pajaknya dengan benar.

Program ini meliputi penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only