Pemerintah Harus Naikkan Tarif Pajak Karbon

Tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah melalui Menteri Keuangan sebesar 30 rupiah per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan dinilai terlalu murah. Dengan tarif tersebut, bukan justru memberikan nilai tambah pada perekonomian, tapi malah menimbulkan beban tambahan.

Tarif pajak yang efektif berlaku secara bertahap mulai 1 April 2022 itu justru akan menimbulkan defisit sekitar 22 dollar AS per ton dengan asumsi pajak karbon dalam negeri hanya sekitar tiga dollar AS per ton, sementara produk Indonesia yang diekspor dikenakan pajak karbon 25 dollar AS per ton.

Pakar Energi Baru Terbarukan (EBT) dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto, mengatakan pemerintah perlu membuat tarif yang setara dari nilai pajak karbon yang telah ditetapkan untuk mendukung kesinambungan lingkungan.

“Kesetaraaan pajak karbon ini agar secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian dalam neraca ekspor-impor. Penetapan pajak yang pantas diharapkan mendukung pencapaian target netral karbon yang telah ditetapkan,” kata Suprapto.Baca Juga :Pengguna PLTS Atap Sektor Komersial di Jateng Dapat Insentif

Sementara itu, The Prakarsa, lembaga yang fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, menilai tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) masih rendah, jika dibandingkan dengan rencana awal pemerintah.

“Aturan baru tentang pengenaan pajak karbon merupakan salah satu bukti konkret atas komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, kebijakan ini belum ideal,” kata Maftuchan, Direktur Eksekutif The Prakarsa.

Maftuchan menjelaskan usai meratifikasi Perjanjian Paris 2015, Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi target pengurangan emisi. Meskipun sudah mulai melakukan pengurangan emisi karbon, salah satunya melalui peningkatan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23 persen pada 2025.

Pada 2020 lalu, bauran EBT baru 11 persen, sehingga tersisa empat tahun untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen di 2025. Oleh sebab itu, kebijakan pajak karbon merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon.

Sayangnya, rencana pengenaan tarif pajak karbon sebesar 75 rupiah per kilogram CO2e dalam draf RUU KUP tidak direalisasikan malah berkurang jauh. Pada Bab VI UU HPP Pasal 13, tarif pajak karbon yang ditetapkan hanya 30 rupiah per kg karbon CO2e, jauh lebih rendah dari Singapura yang mengenakan tarif 3,71 dollar AS per ton C02e atau sekitar 56,89 rupiah per kg CO2e.

“Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berada jauh di atas Singapura. Tarif ideal seharusnya 75-100 rupiah per kg karbon CO2e,” tambah Research and Knowledge Manager di the PRAKARSA Cut Nurul Aidha.

Dibebankan ke Konsumen

Menurut Cut Nurul, dalam Pasal 13 Ayat 5 UU HPP juga menjelaskan bahwa subjek pajak karbon hanya orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon. Artinya, subjek pajak karbon adalah konsumen.

Jika perusahaan menjual batu bara ke industri lain akan dianggap sebagai pemungut pajak karbon dan bukan subjek pajak karbon. Pihaknya memandang pertimbangan pemerintah yang menerapkan pengenaan pajak karbon pada sisi permintaan ini tidak tepat sasaran dan dapat menimbulkan asumsi bahwa pemerintah hanya berpihak pada produsen.

“Padahal pajak karbon seharusnya menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan yang tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen, namun juga praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi,” ungkapnya.

Secara terpisah, Manajer Riset Seknas, Fitra Badiul Hadi, menegaskan harga yang dipatok pemerintah 30 rupiah per kilogram (kg) terlalu rendah dan tidak akan memberi pengaruh besar pada kualitas lingkungan.

“Jadi kita membodohkan diri kita sendiri jika pajak karbon kita rendah. Itu merugikan seluruh rakyat Indonesia. Pajak karbon itu pajak dunia, karena emisi yang disebarkan ke udara seluruh dunia, bukan hanya udara Indonesia. Saya kira wajar jika aktivis lingkungan menolak tarif tersebut karena tidak akan berdampak signifikan pada komitmen pelaku usaha untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK),” kata Badiul.

Dia meminta pemerintah belajar dari Finlandia dan Swedia sebagai negara yang pertama kali menerapkan pajak karbon. “Swedia menetapkan tarif pajak karbon yang sangat tinggi, yaitu 116,33 euro per ton emisi,” jelas Badiul.

Pemerintah dalam menetapkan pajak karbon merupakan pengalaman yang pertama kali, sehingga seharusnya melakukan konsultasi publik agar betul-betul memberi kontribusi pada pendapatan negara dan memberi dampak positif pada lingkungan. Jika tarifnya terlalu rendah, seharusnya pemerintah mengevaluasi dan melakukan penyesuaian.

Peneliti Ekonomi Indef, Ahmad Heri Firdaus, yang dihubungi terpisah mengatakan ke depan pemerintah harus melakukan perubahan secara bertahap demi menekan emisi.

“Kita harus gunakan energi yang ramah lingkungan atau konversi ke energi hijau dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan lingkungan. Pemerintah harus melihat progres aturan baru ini untuk dievaluasi berapa angka yang optimalnya sembari melihat progres pembangunan energi yang tidak hasilkan GRK,” kata Heri.

Sumber: koran-jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only