Ekonom: PPN Naik Jadi 11 Persen Berisiko Terhadap Pemulihan Ekonomi

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa catatan membuat reformasi pajak dalam Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak optimal.

Satu di antaranya yakni cenderung kontra terhadap pemulihan ekonomi yakni terkait dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) mulai 2022.

“Soal PPN misalnya, tarifnya akan naik ke 11 persen sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi, khususnya dampak ke daya beli kelas menengah,”

Menurut Bhima, jika barang harganya naik maka terjadi inflasi, padahal belum tentu daya beli kelas menengah ke bawah akan langsung pulih di 2022.

Akibatnya ,masyarakat punya dua opsi, mengurangi belanja, banyak berhemat, atau mencari alternatif barang lebih murah.

Lalu, situasinya menjadi sulit bagi kelas menengah ke bawah karena PPN tidak memandang golongan masyarakat, mau kaya dan miskin beli barang kena PPN.

Selain itu, Bhima mengungkapkan, efek penyesuaian tarif PPN juga akan berdampak ke dunia usaha yang sudah menginjak gas untuk ekspansi.

“Pengusaha sudah mulai ancang-ancang, tadinya ingin ekspansi jadi berpikir ulang soal kondisi permintaan barang di 2022. Apakah harga barang perlu diturunkan menimbang kenaikan PPN? Apakah stok barang yang ada di gudang sekarang bisa laku terjual dengan harga yang lebih mahal di level konsumen akhir?” tuturnya.

arena itu, dia menambahkan, situasinya mencekik pelaku usaha dari produsen sampai distributor akibat kenaikan tarif PPN memberikan ketidakpastian yang tinggi.

“Sementara, inflasi diperkirakan bisa 4,5 persen di 2022 dengan adanya kenaikan tarif pajak. Demand pull inflation ditambah tax rate akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga,” pungkas Bhima.

Sumber : Tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only