Legislator: Penerimaan Pajak Karbon Perlu Dialokasikan untuk EBT

Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari menyatakan sebagian besar dari hasil penerimaan dari kebijakan pajak karbon perlu dialokasikan untuk pengembangan beragam bentuk penerapan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Tanah Air.

“Saya setuju bahwa pendapatan dari pajak karbon ini harus paling tidak sebagian besarnya harus diinvestasikan kembali untuk pengembangan energi baru terbarukan,” kata Diah Nurwitasari, dilansir dari Antara, Rabu, 17 November 2021.

Hal itu, ujar dia, karena pendapatan negara yang berasal dari pajak karbon harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai tugas konstitusi yang dibebankan kepada pemerintah.
Data yang disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan pengenaan pajak karbon USD1 per ton, pendapatan negara bertambah Rp76,49 miliar, berdampak penambahan BPP tenaga listrik sebesar Rp76,49 miliar, dan berdampak penambahan subsidi listrik sebesar Rp20,46 miliar dengan kompensasi sebesar Rp61,38 miliar (total Rp81,84 miliar).

Dengan potensi yang besar tersebut, Diah meminta harus ada transparansi kebijakan dari segala upaya pemerintah dalam menghadirkan program tersebut.

Pada penerapan pajak karbon, pemerintah baru akan mengenakan pungutan ke operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau pembangkit berbasis batu bara. Artinya, tidak langsung ke banyak sektor yang menghasilkan karbon.

Rencananya, tarif pajaknya sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) mulai 1 April 2022. Pajak akan dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi (cap) yang telah ditetapkan

Sementata itu, Anggota Komisi VII DPR RI Arkanata Akram menekankan perlu ada kajian mendalam serta penerangan lebih lanjut terkait fungsi dan alokasi dana dari pajak karbon. Arkanata Akram menambahkan, emisi karbon seharusnya digunakan untuk meningkatkan penggunaan EBT di Indonesia.

Pajak karbon

Senada, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menambahkan perlu digarisbawahi bahwa pajak karbon itu bukan pendapatan negara, namun nantinya akan dikembalikan lagi untuk mengatasi sejumlah permasalahan lingkungan.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyatakan, penerapan pajak karbon di Indonesia jangan sampai menjadi bentuk mengalihkan tanggung jawab korporasi terhadap gas emisi yang telah mereka produksi.

“Tidak cukup hanya mengompensasi kerusakan dengan membayar pajak, tetapi pembangunan yang bersifat ekstraktif terus berjalan,” pungkas Rachmi Hertanti.

Sumber: medcom.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only