Waspada! Ini Bahaya di Balik Tarif Pajak hingga Harga Pangan Naik

Harga bahan pangan melonjak belakangan ini, ditambah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik jadi 11% sejak 1 April 2022. Belum lagi harga BBM Pertamax juga naik menjadi Rp 12.500/liter.
Kondisi ini diprediksi mendongkrak inflasi dalam beberapa waktu ke depan. Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Manap Pulungan inflasi yang naik tak terkendali dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pasalnya ekonomi Indonesia yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga, akan berpengaruh karena adanya penurunan daya beli.

“Ketika inflasi naik tentunya daya beli akan turun, akan berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga secara keseluruhan. Ada tipikal masyarakat akan menunda konsumsi dengan ekspektasi akan terjadi penurunan harga, tentunya pertumbuhan ekonomi tidak akan tinggi lewat konsumsi rumah tangga,” kata Abdul kepada detikcom, Senin (18/4/2022).

Dari sektor riil, kenaikan inflasi akan menyebabkan harga-harga barang meningkat karena biaya produksi naik. Bagi produsen yang tidak berani menaikkan harga dan memilih mengurangi margin keuntungan, nasib karyawan bisa terancam hingga merembet ke peningkatan pengangguran.

“Ketika margin keuntungan diturunkan, tentu dia harus mengurangi tenaga kerja agar penghasilan tidak tergerus signifikan sehingga pilihan yang rasional bagi pengusaha ya mengurangi karyawan. Minimal dia merumahkan dulu dengan opsi memberikan gaji dan tidak memberikan gaji,” tuturnya.

Kenaikan inflasi yang tak terkendali juga dapat membuat angka kemiskinan Indonesia bertambah. Kondisi ini sangat mungkin dialami masyarakat kategori rentan miskin atau pekerja informal, yang bisa jatuh jika harga terus-menerus mengalami kenaikan.

“Sektor informal jadi salah satu sumber atau miskin di situ karena dia pendapatannya tidak sustain, tidak pasti setiap bulan. Beda dengan formal seperti pegawai kantoran yang setiap bulan akan mendapat gaji,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menambahkan bahwa kenaikan inflasi akan menekan para pelaku usaha kecil. Keuntungan mereka otomatis akan tertekan karena biaya bahan baku yang meningkat, di sisi lain ada potensi permintaan menurun karena kenaikan harga.
“Bagi pelaku usaha akan meningkatkan biaya produksi karena inflasi kan akan menaikkan ongkos produksi dalam hal misalnya bahan baku. Kalau industri makanan berarti bahan baku makanan dan biasanya meningkatkan produk jadinya,” jelasnya.

Dari sisi konsumen, tentu kenaikan inflasi dapat meningkatkan biaya hidup. Di sisi lain, penghasilan tidak mengalami kenaikan atau tetap.

“Nah ini akan semakin menekan spending, belanjanya. Kalau belanjanya makin sedikit ini akan berpengaruh juga ke dunia usaha karena permintaan menurun, menahan pertumbuhan ekonomi juga pada akhirnya nanti,” bebernya.

Kenaikan tarif PPN sangat disayangkan berlaku di tengah ekonomi yang baru mulai bergerak usai dihantam pandemi COVID-19. Walaupun ada beberapa barang yang dibebaskan dari PPN, dampak kenaikan tarif itu disebut tidak bisa dibatasi hanya pada satu sektor atau kalangan tertentu.

“Pemerintah melihatnya menaikan PPN saat ini tepat karena tujuannya untuk menambal APBN. Kalau kita sebagai rakyat mau gimana lagi, kita hanya menerima tapi memang sangat disayangkan ini ekonomi kan baru mulai bergerak,” kata Abdul.

“Kita sudah terkena pandemi 2 tahun lebih, banyak yang di-PHK, banyak aktivitas disetop, orang tidak berpendapatan tiba-tiba PPN naik,” tambahnya.

Pemerintah diharapkan bisa menunda kenaikan-kenaikan harga komoditas yang hanya membuat rakyat semakin sulit. Termasuk rencana kenaikan tarif listrik, BBM Pertalite, Solar, dan LPG 3 kg.

“Coba lah ditunda kenaikan-kenaikan tarif yang tidak signifikan karena kalau semuanya dinaikan, rakyat menjerit juga,” tegasnya.

Sumber: finance.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only