Pajak dan Pemulihan Ekonomi

Sepulang kantor, seperti biasanya saya tak lupa singgah ke tempat penjual gorengan langganan. Kalau diperhatikan, ternyata UMKM rumahan yang menjual gorengan memang sudah mulai menggeliat lagi. Bapak-bapak berkumis tebal penjual nasi goreng dan mie ayam porsi tukang gali sasaran “mukbang” sudah mulai berseliweran lagi. Bahkan ada beberapa warung mie ayam yang antrenya bisa berjam-jam. Warung yang menjual nasi telur dengan kolesterol tinggi pun sudah kembali ramai.

Dalam beberapa survei dikatakan bahwa UMKM yang relatif bisa bertahan lebih lama itu yang merambah ke dunia online, namun kenyataannya manusia sebagai makhluk sosial juga butuh interaksi dan silaturahmi sehingga warung-warung offline ini pun tetap bisa eksis. Jika mereka menggunakan aplikasi online pun akan dimatikan sementara jika pengunjung yang datang secara langsung membludak.

Sementara itu di jagat maya, reel Tiktok dan Instagram sangat banyak netizen yang mempromosikan kuliner-kuliner Nusantara. Meskipun tak dapat dipungkiri, sebagian mengunggah demi konten, namun tetap saja berakibat positif bagi UMKM-UMKM tadi. Di merchant online pun hampir setiap hari ada flash sale, sehingga membuat definisi tanggal cantik tiada relevan lagi. Sisi positifnya adalah usaha mereka juga turut mengalami perputaran.

Artinya apa? Artinya, program pemerintah dalam pemulihan ekonomi sudah mulai menunjukkan hasilnya. Langkah yang diambil pemerintah dalam memberikan insentif pajak berupa pengurangan omzet Rp 500 juta sungguh tepat sasaran. Dengan adanya insentif ini, selain mendekatkan masyarakat dengan pajak juga membuat masyarakat tidak segan lagi berurusan dengan pajak. Toko-toko online bisa lebih gencar memberikan promo untuk meningkatkan penjualan tanpa harus khawatir dengan pajak.

Satu hal lagi yang bisa diraih pemerintah adalah meningkatnya daya beli masyarakat. Bagaimana tidak, dengan berkurangnya uang pajak yang dikeluarkan, uang ini akan lebih banyak mengalir ke sektor-sektor lain yang menimbulkan efek multiplier/pengganda misalnya konsumsi.

Selain bergeraknya UMKM, pencapaian pemerintah lainnya adalah meningkatnya jumlah pembelian rumah dengan adanya insentif Pajak Pertambahan Nilai untuk pembelian rumah. Semakin banyak uang yang digunakan para karyawan untuk konsumsi karena adanya insentif Pajak Penghasilan Pasal 21.

Sudah Tepat

Dalam ilmu ekonomi terdapat konsep elastisitas yaitu respons suatu variabel akibat perubahan pada variabel lainnya. Misalnya respons permintaan terhadap kenaikan harga. Salah satunya adalah konsep in-elastis sempurna; apabila suatu barang mengalami perubahan harga, maka respons atas permintaannya tidak mengalami perubahan. Contohnya bisa dilihat pada barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh rakyat banyak.

Kebijakan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sudah tepat dengan membebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas barang-barang kebutuhan pokok tadi. Itu merupakan contoh langkah tepat lainnya yang diambil oleh pemerintah.

Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah pendapatan nasional. Pendapatan nasional sendiri bisa dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Pendapatan nasional dari sudut pandang pendekatan pengeluaran adalah jumlah pengeluaran secara nasional untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode biasanya tahunan.

Pengeluaran secara nasional ini berupa konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan selisih ekspor impor. Empat aspek tadi sangat erat kaitannya dengan pajak. Di sinilah pajak memiliki fungsi regulerend yaitu untuk mengatur kebijakan-kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah.

Jadi pajak itu ibaratnya dua sisi mata uang, di satu sisi pajak bisa menambahkan insentif untuk memacu konsumsi dalam rangka menggiatkan perekonomian, dan di sisi lain pajak juga bisa mengurangi insentif, misalnya untuk kebijakan yang bertujuan menekan jumlah impor.

Beranjak ke sektor saham, pada April 2022 kemarin, IHSG mampu mencapai rekor tertingginya di angka 7355. Suatu pencapaian yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tentunya diiringi dengan masuknya investasi asing yang cukup besar. Karena tak dapat dipungkiri IHSG masih “disetir” oleh saham-saham blue chip yang sebagian besar kepemilikannya dikuasai oleh asing.

Salah satu contoh saham blue chip adalah Bank BCA. Jika kita memiliki saham BCA di awal-awal masa pandemi sekitar April 2020, harganya ada di kisaran Rp 5595, sekarang harganya sudah Rp 7275. Atau saham Indofood pada April 2020 dengan kisaran Rp 6375, sekarang harganya sudah Rp 7100.

Konsep Baru

Untuk sektor belanja pemerintah dipastikan mengalami peningkatan dengan semakin ketatnya regulasi atas pemungutan pajak oleh Bendahara sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 58 Tahun 2022 yang mengatur pemotongan pajak oleh marketplace. Jadi ini memang konsep baru.

Dulunya pihak yang melakukan pemotongan atau pemungutan hanya bisa salah satu dari dua pihak yaitu pembeli atau penjual. Namun dengan terbitnya PMK ini, pemotongan pajak bisa dilakukan oleh pihak yang mempertemukan penjual dan pembeli, misalnya marketplace tempat terjadinya transaksi. Semakin ketatnya pengawasan atas uang pajak ini pastinya karena semakin deras dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menggiatkan pembelanjaan.

Tujuan makro yang ingin dicapai pemerintah adalah pemulihan ekonomi, namun sejatinya tidak lupa untuk mencapai tujuan mikronya. Agar pemulihan ekonominya berakar dan berkesinambungan, pemerintah perlu menancapkan kuku dalam hal mendekatkan pajak terhadap masyarakat.

Sejak 2018-2020, kinerja tax ratio atau rasio pajak Indonesia tercatat masih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina. Dalam kurun waktu tersebut, rasio pajak Indonesia stagnan di angka 10%-12%. Sementara, Singapura mencatatkan di level 13-14%. Makanya pendekatan pajak ke rakyat juga sangat perlu. Bisa dilihat juga dengan kunjungan rakyat ke kantor pajak, seberapa banyak? Masihkah rakyat buta pajak atau malah takut terhadap petugas pajak?

Indikator paling mudah bisa dilihat dari rating tiap-tiap kantor pajak di google review-nya. Sudah banyak kisah para wajib pajak yang hidup di gunung atau pedalaman yang menempuh waktu berjam-jam agar bisa mengunjungi kantor pajak untuk menunaikan kewajibannya. Motivasi mereka perlu diapresiasi dan dicontoh oleh kita semua.

Jika benar-benar peduli terhadap negara dan ingin memberikan kontribusi dalam bidang pajak, maka masyarakat dapat melakukannya dengan sukarela juga seperti program PPS tempo hari. Perlu diacungi jempol juga langkah pemerintah yang cukup konsisten dalam upayanya mendekatkan masyarakat dengan pajak. Setiap minggu ada kelas pajak yang diadakan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan topik yang beragam.

Selain kelas pajak, KPP juga rutin mengadakan podcast terkait pajak. Pemerintah sudah sadar betul pentingnya edukasi perpajakan bahkan sampai ke calon wajib pajak yang ditempuh dengan mengadakan acara Pajak Bertutur kepada siswa SMA dan mahasiswa perguruan tinggi.

Tanggal 14 Juli ditetapkan pemerintah sebagai Hari Pajak yang diperingati setiap tahunnya. Kata pajak muncul dalam Rancangan UUD yang disampaikan pada 14 Juli 1945, Pasal 23 yang menyebutkan:”Segala Pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”

Di usianya yang sudah tidak muda lagi seharusnya pajak bisa mencapai bukan sekadar penerimaan negara yang besar, namun juga pemulihan ekonomi yang berakar. Hal tersebut tidak akan bisa tercapai jika tak ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Ibaratnya dalam suatu ekosistem, pemerintah dan masyarakat bisa menjalin simbiosis mutualisme yaitu interaksi atau kerja sama yang saling menguntungkan.

Kuncinya adalah pada kata “saling”; pemerintah tidak bisa mencapai pemulihan ekonomi jika hanya bekerja sendirian. Pajak memberikan dampak kepada pemulihan ekonomi.

Sumber: news.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only