Apa dan Manfaat CRM bagi DJP serta Wajib Pajak

Jakarta. Sekitar April 2022 lalu,Dirjen Pajak Suryo Utomo meluncurkan sistem Compliance Risk Management (CRM) fungsi penegakan hukum dan penilaian. CRM ini menjadi indikator penentu Wajib Pajak prioritas yang akan dilakukan tindakan penegakan hukum atau penilaian. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga telah menerapkan sistem CRM fungsi pengawasan dan pemeriksaan, ekstensifikasi, transfer pricing, dan edukasi perpajakan. Secara fundamental, apa itu CRM? Serta, apa manfaatnya bagi DJP maupun Wajib Pajak? Pajak.com akan mengulasnya berdasarkan regulasi terkait disertai penjelasan dari DJP. Apa itu CRM? 

Berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2019, CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak, hingga tahap evaluasi. CRM akan menciptakan suatu kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif.
Suryo menyimpulkan, secara lebih sederhana, sebagai sebuah proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang prioritas dengan acuan yang teratur, terukur, sederhana, efisien, dan menghasilkan.

“CRM akan menjadi landasan menuju implementasi core tax administration system pada 2023. CRM juga menjadi basis awal menuju penyempurnaan sistem administrasi perpajakan ke depan. Sebelum core tax administration system, kami berharap sudah bisa memahami manfaat yang diberikan aplikasi, sehingga ke depan kami perlu tahu elemen pembentuknya,” ungkap Suryo.

Sistem juga didukung oleh aplikasi lain DJP, seperti aplikasi Smartweb, dan Dashboard Wajib Pajak Madya.

1. Secara teknis, CRM digunakan untuk menjalankan pemeriksaan terkait implementasi pemberian fasilitas restitusi dipercepat. DJP bisa menggolongkan kriteria Wajib Pajak berdasarkan tingkat kepatuhannya. Maka, bagi Wajib Pajak yang patuh, restitusi bakal lebih dipercepat. Sebaliknya, Wajib Pajak tidak patuh tidak menjadi prioritas untuk diberikan restitusi.

2. Implementasi dapat membantu DJP melayani Wajib Pajak dengan lebih adil dan transparan, sehingga dapat mewujudkan paradigma kepatuhan sukarela.

3. CRM membantu DJP mencapai tujuan strategis organisasi dalam pengambilan keputusan yang lebih terarah dan prioritas. Hal ini membantu DJP menghadapi tantangan keterbatasan jumlah sumber daya manusia.

4. CRM didesain untuk memerhatikan risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari setiap Wajib Pajak. Adapun risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan, terdiri atas pendaftaran (registration), pelaporan (filing), pembayaran pajak (payment), dan kebenaran pelaporan (correct reporting).

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menambahkan, CRM dapat memberikan hasil analisis preskriptif, sehingga hanya Wajib Pajak yang tidak patuh saja yang diperiksa oleh DJP.

“Kita semua memahami tidak ada yang happy kalau diperiksa. Semakin kita mature sistemnya, akan dilihat orang yang kira-kira tidak patuh atau ingin tidak patuh itu yang menjadi objek pengawasan dan pemeriksaan. Kalau yang patuh, kami tidak akan periksa. Paling penting lagi, CRM dan BI (business intelligence) juga mengurangi jangka waktu pemeriksaan. Wajib Pajak mendapatkan kepastian hukum yang lebih cepat. Tidak ada juga orang yang betah diperiksa satu tahun tidak selesai-selesai,” ungkap Yon.

Peta kepatuhan Wajib Pajak

1. Peta kepatuhan CRM fungsi ekstensifikasi, yaitu peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Peta ini disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.

2. Peta kepatuhan CRM fungsi pemeriksaan dan pengawasan, adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan, pembayaran, dan kebenaran pelaporan. Peta ini disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.

3. Peta kepatuhan CRM fungsi penagihan, yaitu peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran piutang pajak. Peta ini disusun berdasarkan tingkat ketertagihan piutang pajak, keberadaan Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak, serta kemampuan membayar.

Direktur Data dan Informasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dasto Ledyanto menuturkan, DJP telah melalui beberapa fase pengembangan CRM. Pengelolaan big data analytics secara teoritis memiliki empat tingkatan, yakni:

1. Tingkatan bersifat deskriptif. Pada fase awal ini, DJP melaluinya dengan membentuk dashboard yang memuat data-data dasar, seperti realisasi penerimaan.

2. Ada tingkatan yang sifatnya diagnostik. Pada fase ini data dan informasi sudah dapat diolah dan dilakukan pengujian secara dini, misalnya atas kepatuhan Wajib Pajak lantaran Indonesia menganut sistem self assessment. Fase ini juga memerlukan data lain untuk disandingkan. Adapun data yang dimiliki DJP, seperti Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan; bukti potong; faktur pajak; hingga data yang diperoleh dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP).

3. Pengelolaan big data analytics bersifat prediktif yang sudah berjalan dalam dua hingga tiga terakhir. Pada fase ini DJP dapat merumuskan secara business intelligence, salah satunya kemampuan membayar atau ability to pay Wajib Pajak.

4. Tingkatan berrsifat preskriptif. DJP telah berada pada fase ini karena sudah memiliki CRM untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada setiap Wajib Pajak.

Sumber : pajak.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only