Penundaan Penerapan Pajak Karbon Hambat Dekarbonisasi

Langkah pemerintah yang untuk kedua kalinya menunda penerapan carbon tax (pajak karbon) dinilai kontradiktif dengan komitmen mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2023.

Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, dalam dialog bertajuk Merdeka dari Energi Fosil, di Jakarta, Kamis (18/8), mengatakan sebenarnya niat awal penerapan pajak karbon selain untuk menjaga lingkungan juga untuk memberi ruang bagi pemanfaatan EBT.

“Penundaan ini kan sudah dua kali yah (April dan Juli 2022). Anehnya, sudah rate-nya rendah, ditunda pula. Tentu sangat disayangkan, padahal kita sangat berharap sudah diterapkan,” ungkap Berly.

Apabila pengembangan EBT berjalan lambat, akan semakin tertinggal dari negara lainnya di kawasan Asean, seperti Vietnam dan Thailand. Di negara tetangga itu, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB)-nya telah meningkat sedemikian pesatnya.

Dalam kesempatan yang sama, Albertus Prabu Siagian, Analyst Climate Policy Initiative, menjelaskan pengenaan carbon tax akan membantu mengubah perilaku emisi masyarakat sehingga target emisi 2030 (NDC) dan 2060 (NZE) lebih mungkin tercapai.

Penundaan penerapan pajak karbon membuat kerusakan lingkungan meningkat.

“Penundaan carbon tax berpotensi membuat target pencapaian yang dicanangkan kian sulit. Semakin lama ditunda, semakin carbon tax rate-nya harus dinaikkan jika Indonesia masih ingin serius mencapai target emisi dengan deadline yang sama. Dan tax rate yang lebih tinggi itu lebih politically challenging,” tegasnya.

Tidak Sesuai Rekomendasi

Dia juga mengkritisi rendahnya tarif pajak karbon yang hanya 30,00 rupiah per kilogram dioksida ekuivalen atau satuan yang setara. Pajak karbon RI jauh dari rekomendasi Bank Dunia yang mematok tarif untuk negara berkembang antara 35 hingga 100 dollar AS per ton atau sekitar 507.500 sampai 1,4 juta rupiah per ton.

Adapun penerapan carbon tax di Indonesia sudah dua kali mengalami penundaan. Penundaan pertama pada April lalu, kemudian Juli kembali ditunda lagi. Pemerintah menegaskan akan tetap menerapkan carbon tax pada tahun ini, namun waktunya belum bisa dipastikan.

Adila Isfandiari dari Climate and Energy Campaigner, Greenpeace Indonesia, menegaskan sebenarnya keputusan penerapan pajak karbon itu kurang tepat untuk mengejar target net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Sebab, jika melihat tren pengembangan EBT di Indonesia sangatlah rendah. Sulit untuk mengejar target yang telah ditetapkan.

Pemerintah menargetkan bahwa pada tahun 2025 porsi bauran EBT sudah mencapai 23 persen, namun faktanya dari tahun 2015 hingga 2020 kapasitas pembangkit EBT hanya bertambah 2 gigawatt (GW) dari 8,5 GW ke 10,5 GW.

Pada 2020 lalu, porsi kapasitas pembangkit EBT baru menyumbang 12,6 persen dalam bauran energi nasional.

“Artinya, butuh 10,6 GW dari tahun 2021 hingga 2025 untuk mengejar target 23 persen itu,”ucap Adila menanggapi kerap ditundanya penerapan pajak karbon.

Adila menjelaskan bahwa di tengah krisis ekonomi global, harga energi hijau (EBT) semakin kompetitif. Itu berbanding terbalik dengan harga energi kotor seperti batu bara yang terus melambung di pasar global yang mencapai 400 dollar AS per metrik ton (MT), sehingga mempersulit PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengamankan pasokannya.

Hal yang sama juga dengan harga minyak yang naik empat kali lipat dari tahun lalu. Di sisi lain dalam sepuluh tahun terakhir, harga energi yang bersumber dari energi hijau semakin murah. Harga PLTS turun hingga 90 persen dan PLTB turun 70 persen.

“Krisis energi global menegaskan kembali kebutuhan akselerasi transisi energi. Karena itu, pembangunan EBT harus dipacu. Ini butuh komitmen kuat dari pemerintah,” tegasnya.

Sumber: koran-jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only