Reformasi Pajak Global Tak akan Terjadi Tanpa Peran Civil Society

Civil society dinilai punya peran besar dalam mendorong agenda reformasi perpajakan global.

Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan banyak kebijakan-kebijakan reformasi perpajakan internasional yang berjalan saat ini berawal dari buah pemikiran civil society pada masa lampau.

“Pembentukan kebijakan perpajakan baik global maupun domestik itu tidak bisa lepas dari peran teman-teman yang bergerak di civil society, think tank, dan sebagainya,” ujar Bawono dalam Pre C-20 Summit TSFWG yang digelar oleh Taxation & Sustainable Finance Working Group (TSFWG) C-20 dan Tax Centre FIA UI, Kamis (22/9/2022).

Sebagai contoh, penerapan country by country reporting (CbCR) yang kita kenal saat ini tidak terlepas dari ide Richard Murphy, seorang akuntan sekaligus pakar politik-ekonomi asal Inggris. Bagaimanapun, CbCR pada BEPS Action-13 sangat lekat dengan ide Murphy mengenai standar akuntansi yang berbasiskan pada pelaporan omzet dan pajak sesuai dengan lokasi usaha.

Sebelum CbCR, sistem pajak internasional menganut separate entity approach. Akibat pendekatan tersebut, otoritas pajak tidak bisa memperoleh gambaran kinerja perusahaan multinasional secara utuh.

“Perusahaan multinasional hanya bisa dilihat secara kepingan kaca mata otoritas pajak masing-masing negara, tidak ada gambaran yang utuh. Padahal perusahaan multinasional berorientasi untuk memaksimumkan profit secara global. Tidak masalah jika semisal rugi di suatu negara, yang penting untung secara global,” ujar Bawono.

Ide yang diusung oleh Murphy pada 2003 pada akhirnya diadopsi oleh OECD dan hampir seluruh yurisdiksi melalui BEPS Action 13 pada 2015.

Contoh kedua mengenai peran civil society, Tax Justice Network sejak 2003 telah secara konsisten menyuarakan perang terhadap tax haven. Organisasi tersebut sudah sejak lama menyarankan adanya pertukaran informasi perpajakan guna mengatasi masalah penghindaran pajak melalui tax haven. Satu dekade kemudian, yakni pada 2013, OECD dan G-20 mengadopsi automatic exchange of information (AEOI).

“Kesimpulannya, terkadang ide teman-teman civil society kerap kali melampaui zaman. Namun, kalau kita lihat sejarahnya, memang sesuatu yang ideal itu perlu waktu. Apa yang diusung C-20 mungkin saja tahun ini atau tahun depan belum terwujud, tapi seiring perkembangan waktunya bisa jadi akan tercapai,” ujar Bawono.

Pajak Kekayaan

Dalam gelaran G-20 kali ini, C-20 turut mengusulkan pengenaan pajak kekayaan dengan tarif tertentu atas kekayaan di atas US$10 juta. C-20 berpandangan, pajak kekayaan bisa menjadi sumber pembiayaan alternatif untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan layanan publik serta mengurangi ketimpangan.

Bawono berpanganan ide mengenai pajak kekayaan cukup relevan mengingat sistem pajak saat ini bergerak makin jauh dari prinsip keadilan.

Akibat paradigma supply side tax policy, pemerintah didorong untuk memberikan relaksasi kepada pemodal dengan asumsi kebijakan tersebut akan turut menyejahterakan masyarakat lapisan bawah. “Akan ada trickle down effect ke bawah, kenyataannya apakah ini yang terjadi?” ujar Bawono.

Selanjutnya, sistem PPh yang berlaku saat ini juga mengandung dual income tax yang tercermin dalam schedular tax system. Artinya, terdapat perlakuan pajak yang berbeda antara penghasilan aktif berupa gaji dan penghasilan pasif seperti dividen, sewa, bunga, royalti, dan sebagainya.

Pajak yang bersifat progresif umumnya hanya diberlakukan terhadap penghasilan-penghasilan aktif, sedangkan penghasilan pasif umumnya diberlakukan skema pajak khusus yang bersifat final.

Masalahnya, skema ini menguntungkan masyarakat kelas atas karena merekalah yang memiliki penghasilan pasif. Masyarakat kelas menengah ke bawah justru dibebani pajak yang bersifat progresif. “Jadi kalau ditanya apakah tarif PPh naik itu menjawab ketimpangan? Jawabannya, belum tentu. Karena makin kaya seseorang, makin tinggi passive income yang dimilikinya,” ujar Bawono.

Terakhir, progresivitas PPh orang pribadi juga tercatat terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 1985, 46,33% negara di dunia memiliki tarif PPh orang pribadi tertinggi sebesar 41% hingga 60%. Pada 2020, mayoritas negara memiliki tarif PPh orang pribadi tertinggi hanya sebesar 31% hingga 40%.

Jumlah lapisan penghasilan kena pajak PPh orang pribadi juga terus mengalami penurunan. Pada 1985, mayoritas negara memiliki lapisan penghasilan kena pajak sebanyak 10 hingga 19 lapisan. Pada 2020, mayoritas negara hanya memiliki lapisan penghasilan kena pajak sebanyak 4 hingga 5 lapis saja.

“Faktor-faktor ini sebenarnya adalah justifikasi kita untuk mencari alternatif pajak di luar sistem yang berlaku saat ini, yakni pajak kekayaan,” ujar Bawono.

Meski demikian, pemberlakuan pajak kekayaan akan memberikan tantangan tersendiri. Bawono mengatakan pajak kekayaan lebih relevan untuk dikenakan bila kekayaan seorang wajib pajak adalah berbentuk aset keuangan seperti saham dan sebagainya.

Bila kekayaan milik wajib pajak adalah aset-aset yang sulit dilakukan valuasi seperti karya seni dan sebagainya, implementasi pajak kekayaan menjadi sulit diterapkan. Akibatnya, banyak negara yang menerapkan pajak kekayaan atas aset-aset tertentu. Implikasinya, penerapan pajak kekayaan menjadi tidak optimal.

Orang kaya selaku subjek dari pajak kekayaan tergolong sulit dipajaki karena memiliki akses terhadap berbagai instrumen untuk menghindari pajak tersebut.

Terakhir, banyak negara yang justru menawarkan suaka pajak kepada orang-orang berpenghasilan tinggi guna menjawab masalah penuaan populasi. Artinya, pajak kekayaan tidak bisa diterapkan 1 yurisdiksi sendiri.

Sumber : ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only