Resesi 2023 Semakin Nyata, Kinerja Ekspor RI Terancam Merosot

JAKARTA  Resesi ekonomi global di tahun 2023 semakin nyata. Untuk itu, para pengusaha tengah mempersipakn diri untuk menghadapi perekonomian yang gelap gulita di tahun depan.

Bahkan perkiraan resesi tersebut telah disampaikan oleh Presiden World Bank Group David Malpass bahwa bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunganya dan tren tersebut diperkirakan akan berlanjut di tahun 2023. Pada ujungnya, kebijakan tersebut berdampak kepada permbatan ekonomi yang bisa memunculkan resesi di banyak negara.

Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan resesi global akan memberikan sejumlah dampak pada perekonomian Indonesia, meskipun tren pertumbuhan terus terjaga dimana pada kuartal I-2022 tumbuh 5,01% yoy dan kembali naik di kuartal II-2022 menjadi 5,44%.

Sementara itu, asumsi makro pemerintah secara agregat hingga akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi bisa tercapai di kisaran 5,3%. Hanya saja, Ajib memperkirakan untuk jangka pendek, resesi global akan berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia.

“Untuk jangka pendek, ekspor akan mengalami konstraksi,” ujar Ajib dalam keterangannya, Rabu (28/9).

Akibat kebijakan domestik, dampak rambatan resesi tersebut juga akan memberatkan perekonomian setelah adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi, serta kebijakan moneter meningkatnya suku bunga acuan, akan membuat tekanan terhadap daya beli, dan selanjutnya akan berimbas pada sektor manufaktur.

“Dengan konstraksi ekonomi global yang sedang terjadi, efek ekonomi yang merembet ke dalam negeri terutama sisa ekspor-impor, kenaikan harga pokok produksi (HPP) terutama yang terkait dengan bahan baku impor,” katanya.

Oleh karena itu, agar ekspor tidak tertekan, Ajib menyarankan pemerintah untuk mengakselerasi program hilirisasi dan peningkatan nilai tambah atas setiap komoditas unggulan yang dipunyai oleh Indonesia. Ia menyebut, kebijakan pengetatan ekspor crude palm oil (CPO), moratorium ekspor batubara, dan wacana ekspor nikel mentah di tahun depan merupakan bagian dari program cerdas pemerintah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi  jangka panjang.

Nilai tambah atas komoditas-komoditas unggulan, termasuk tambang, pertanian, dan perikanan harus memberikan nilai ekonomi terbaik dan memberikan daya ungkit maksimal dalam perekonomian nasional.

Untuk diketahui, neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus pada bulan Juli 2022 sebesar US$ 4,23 miliar. Surplus pada bulan Juli 2022 ini didorong oleh nilai ekspor yang lebih tinggi dari nilai impor. Adapun nilai ekspor Juli 2022 tercatat US$ 25,27 miliar, sedangkan impor tercatat sebesar US$ 21,35 miliar.

Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only