Masih Sulit Dikejar Meski Potensi Pajak Besar

JAKARTA. Agenda pemungutan pajak atas transaksi e-commerce di dalam negeri terus bergulir. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) terus mematangkan konsep penarikan pajak e-commerce ini.

Program ini merupakan bagian dari implementasi pasal 32A Klaster Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dalam UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kini, sudah ada beberapa skema kebijakan yang disiapkan pemerintah.

Salah satu skemanya adalah dengan menunjuk platform e-commerce domestik sebagai pihak pemungut pajak. Namun demikian, saat ini memang belum ditentukan jenis pajak yang akan dipungut. Pilihannya antara pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak penghasilan (PPh) setiap transaksi online di e-commerce lokal ini.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal mengatakan, pihaknya masih akan melakukan pembicaraan dengan asosiasi dan marketplace. “Ini masih perjalanan, obrolan juga levelnya macam-macam, diskusinya masih ada yang tahapan awal, kita harus datang dengan konsep, kerangka berpikir dulu baru nanti baru bicara dengan industri dan pelaku,” kata Yon, Selasa (4/10).

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Bima Laga mengaku siap bekerja sama dengan Ditjen Pajak untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut.

Namun, dia belum mau banyak berkomentar lebih jauh lantaran belum ada pembahasan lebih terperinci dari otoritas pajak. “Intinya kami sangat terbuka untuk bisa berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Ditjen Pajak,” ujar Bima kepada KONTAN, Kamis (6/10).

Rencana kebijakan ini mendapat dukungan dari para pengamat perpajakan. Sebab, potensi penerimaan pajak dari e-commerce sangat besar mengingat tingginya transaksi perdagangan online.

Ada dua jenis pajak yang bisa dipungut, yaitu pajak penghasilan (PPh), baik yang bersifat final maupun dengan skema withholding tax. Berikutnya adalah pajak pertambahan nilai (PPN), baik impor ataupun dalam negeri.

Tantangan

Sayangnya, “Realisasi penerimaan dari potensi tersebut ada kemungkinan jauh lebih kecil karena tiga hal,” ujar Pengamat Pajak, Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji kepada KONTAN, Kamis (6/10).

Pertama, adanya peluang kebijakan tarif khusus dalam pemajakan e-commerce yang berada di bawah tarif yang berlaku saat ini. Sebab, ada kemungkinan relaksasi dengan mempertimbangkan para pelaku yang mayoritas UMKM.

Kedua, adanya waktu penyesuaian dari sisi platform digital untuk mengadministrasikan pajak para pelaku yang bertransaksi di dalam ekosistemnya. Berkaca dari kebijakan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebelumnya, penunjukkan pihak lain sebagai pemungut atau pemotong akan dilakukan secara gradual.

Ketiga, adanya potensi terjadi perpindahan aktivitas ekonomi para pelaku, dari ekosistem e-commerce yang sudah dikenakan mekanisme potong-pungut ke tempat lain, yang pengawasan kepatuhannya belum optimal. Misalnya, media sosial.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut, praktik platform sebagai pemungut pajak telah berjalan dengan baik. Namun, praktik tersebut baru mencakup transaksi jasa digital dari luar negeri, seperti dilakukan platform Netflix.

Hanya saja, platform e-commerce belum menjadi pemungut pajak. Padahal, potensinya sangat besar. Karena itu, penunjukan e-commerce lokal sebagai pemungut pajak sangat penting, mengingat sebagian besar ekonomi digital Indonesia berasal dari transaksi e-commerce.

Sumber : Harian Kontan Jumat 07 Oktober 2022 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only