Awan Mendung Gelayuti Prospek Kegiatan Dunia Usaha

Tantangan masih akan dihadapi oleh para pelaku usaha di kuartal IV-2022 dan tahun 2023. Dengan demikian, kondisi kegiatan dunia usaha pada tiga bulan terakhir tahun ini dan pada tahun depan, berpotensi untuk tertekan. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pun menjabarkan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh dunia usaha dalam periode tersebut. 

Pertama, dari sisi inflasi. Tantangan inflasi datang dari kenaikan bahan baku akibat ketidakpastian global. Pelemahan nilai tukar rupiah juga kemudian berpotensi menimbulkan inflasi dari sisi impor (imported inflation). Belum lagi, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) masih akan dirasakan oleh para pelaku usaha. 

“Ini akan menaikkan biaya angkutan dan biaya operasional. Efeknya akan terasa selama beberapa bulan ke depan, bahkan hingga kuartal II-2022,” terang Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (13/10). 

Kedua, kenaikan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat biaya pinjaman para pelaku usaha akan makin mahal. Ketiga, tekanan daya beli masyarakat akibat inflasi. Sebenarnya, ini juga telah terlihat dari hasil survei konsumen dan survei penjualan eceran Bank Indonesia (BI) yang mengindikasikan adanya penurunan secara bulanan. 

“Hasil ini menunjukkan, bahwa konsumen sekarang lebih mementingkan kebutuhan bahan pokok dan mengurangi belanja keperluan sekunder maupun tersier,” terangnya. 

Keempat, ancaman pelemahan ekonomi global, termasuk Indonesia. Situasi ini menimbulkan fluktuasi harga komoditas, yang nantinya akan mempengaruhi ekspansi para pelaku usaha. 

Kelima, Indonesia akan memasuki periode Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024. Nah, hingar bingar Pemilu ini bakal mulai terasa di tahun 2023. Bhima melihat, para pelaku usaha akan wait and see untuk melakukan ekspansi dan lebih hati-hati dalam menyusun rencana bisnis tahun depan. 

Namun, ini bukan berarti tak ada yang bisa dilakukan pemerintah. Menurutnya, pemerintah bisa memberikan uluran tangan untuk meringankan beban dunia usaha, sehingga nantinya kinerja sektor ini akan tetap menderu. 

Bhima mengimbau, pemerintah perlu memberikan insentif. Contohnya, insentif sektor properti juga subsidi uang muka kredit properti. Bila ini kembali diterapkan pada tahun depan, Bhima yakin sektor usaha masih tetap menggeliat. 

“Apalagi, sektor properti ini terkait sekitar 175 subsektor usaha. Kalau sektor properti ini terdampak, maka akan memberikan efek berganda,” jelasnya. 

Insentif kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga diperlukan. Apalagi, mengingat UMKM merupakan bantalan di tiap krisis yang pernah dilewati oleh Indonesia. 

Daya beli masyarakat juga perlu dijaga. Kegiatan dunia usaha ini tentu tak lepas dari besaran permintaan masyarakat. Menjaga daya beli masyarakat bisa dengan penambahan angka subsidi dan perlindungan sosial. 

Selain itu, Bhima juga meminta adanya relaksasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Seperti kita ketahui, per April 2022, tarif PPN naik menjadi 11%. Bhima menganggap ini cukup memberatkan masyarakat. Ia menyarankan, pemerintah melakukan relaksasi tarif menjadi 8%. 

“BIsa dengan sistem sisa tarifnya ditanggung pemerintah (DTP). Jadi, saat tarif PPN turun misalnya ke 8%, sisa 3% nya ditanggung oleh pemerintah,” tandasnya. 

Sumber: nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only