Pajak Karbon Ditunda Sampai 2025

Pemerintah akhirnya menunda penerapan pajak karbon. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan penerapan pajak karbon akan berlaku pada 2025.

“Untuk merealisasikan komitmen menurunkan emisi gas rumah 2060 atau lebih cepat dan yang diterapkan awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” jelas Airlangga dalam pembukaan Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022, Jakarta, Kamis (13/10/2022).

Penundaan pajak karbon ini, merupakan penundaan yang kesekian kali setelah pada akhir 2021 pemerintah berencana mengimplementasikan pajak karbon yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan mulai 1 April 2022. Saat itu, pemerintah berdalih implementasi diundur untuk menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon.

Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan mencatat bahwa tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari usulan awal Rp 75. Dengan tarif Rp 30, Indonesia termasuk negara dengan tarif terendah di dunia untuk urusan pajak karbon.

Penetapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi. Terdapat dua mekanisme yang bisa digunakan Indonesia, yaitu menetapkan batas emisi yang diperbolehkan untuk setiap industri atau dengan menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan setiap satuan tertentu.

Secara umum, skema cap and tax ini mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade yang lazim digunakan di banyak negara. Modifikasi skema pajak karbon tentu diperlukan karena ada perbedaan ekosistem industri antar wilayah, termasuk respons publik terhadap aturan baru tersebut.

Transisi Energi

Menurut Airlangga transisi energi tidak bisa dihindari dan harus dihindari, sehingga negara yang masih mengandalkan energi fosil, termasuk Indonesia memandang transisi energi untuk mengurasi porsi energi fosil dan bauran energi. Penurunan pangsa ini dalam waktu dekat tidak serta-merta mengurangi jumlah energi fosil yang digunakan.

“Untuk itu, Indonesia memiliki beberapa kebijakan kompensasi dan insentif, yaitu akuisisi energi bersih, mekanisme transisi energi (PP batubara pensiun dini), konversi sumber energi kotor, perdagangan karbon, dan pajak karbon,” jelas Airlangga dalam paparannya.

Dalam pemaparannya, Airlangga juga menjelaskan perdagangan karbon merupakan mekanisme jual beli karbon dan sertifikat emisi sebagai surat berharga yang dapat diperdagangkan di bursa karbon. Sementara itu, pajak karbon menjadi disinsentif penggunaan energi kotor atau tidak terbarukan. Penggunaan dana dari pajak karbon untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi bersih atau terbarukan.

Selain perdagangan dan pajak karbon, kebijakan lainnya yang diterapkan pemerintah untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau yaitu akuisisi energi bersih, aturan mengenai pensiun dini PLTU batu bara, dan konversi sumber energi kotor.

Bukan cuma itu, Airlangga juga meminta untuk perusahaan yang masih menggunakan energi tidak terbarukan untuk meningkatkan teknologi ke teknologi bersih, penggunaan Carbon Capture Storage (CCS), mempensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Batubara, perdagangan karbon, dan investasi R&D energi bersih.

“Adapun perusahaan baru wajib melakukan pemanfaatan energi bersih, perdagangan karbon, dan investasi litbang energi bersih,” pungkas Airlangga.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only