Sengketa PPN atas Batu Bara yang Diambil Langsung dari Sumbernya

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi positif pajak pertambahan nilai (PPN) atas batu bara yang diambil langsung dari sumbernya. Fokus dalam sengketa ini ialah adanya pengkreditan pajak masukan sehubungan dengan penyerahan batu bara yang diambil langsung dari sumbernya.

Sebagai informasi, wajib pajak memiliki perjanjian karya perusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dengan pemerintah yang telah ditandatangani pada 13 Oktober 1999. Adapun PKP2B berlaku selama periode operasi wilayah pertambangan, yaitu 30 tahun sejak permulaan operasi penambangan yang pertama.

Otoritas pajak menyatakan batu bara termasuk hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya. Mengacu pada Pasal 4A Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 2000) jo. Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PP 144/2000), batu bara yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan PPN sehingga atas pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.

Di sisi lain, wajib pajak tidak sepakat dengan pendapat otoritas pajak. Menurut wajib pajak, batu bara merupakan barang kena pajak (BKP) sehingga terutang PPN. Dengan demikian, atas transaksi tersebut dapat dilakukan pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1994). Selain itu, wajib pajak juga menyebutkan PKP2B hanya tunduk terhadap ketentuan umum mengenai PPN yang tercantum dalam UU PPN 1994 dan peraturan pelaksananya.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak mempertahankan ketetapan otoritas pajak yang melakukan koreksi positif atas pajak masukan yang dapat dikreditkan.

Alasannya, PKP2B ditandatangani tanggal 13 Oktober 1999. Pada saat penandatanganan, UU PPN yang berlaku ialah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1994). Oleh sebab itu, selama masa kontrak, wajib pajak akan menjalankan kewajiban pemungutan PPN sesuai dengan ketentuan dalam UU PPN 1994 beserta peraturan pelaksananya.

Sesuai dengan Pasal II UU PPN 1994, pengenaan PPN di bidang pertambangan mengikuti ketentuan dalam kontrak karya sampai dengan berakhirnya kontrak tersebut. Berdasarkan PKP2B antara wajib pajak dan pemerintah, batu bara yang dijual atau diolah wajib pajak termasuk barang kena pajak (BKP). Oleh karena itu, atas penyerahan batu bara tersebut terutang PPN dan wajib pajak dapat melakukan pengkreditan pajak masukan.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 38091/PP/M.III/16/2012 tanggal 10 Mei 2012, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 15 Agustus 2012.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif pajak masukan yang dapat dikreditkan pada masa pajak Agustus 2006 senilai Rp5.293.850.210 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Termohon PK menjalankan usaha di bidang pertambangan batu bara. Termohon PK juga telah memiliki PKP2B dengan pemerintah untuk menjalankan usaha tersebut.

Dalam menjalankan usahanya, Termohon PK berkewajiban mengenakan PPN atas penyerahan batu bara. Atas penyerahan batu bara tersebut, Termohon PK melakukan pengkreditan pajak masukan yang terkait dengannya.

Sehubungan dengan hal ini, Pemohon PK melakukan koreksi positif atas pajak masukan yang telah dikreditkan atas penyerahan batu bara. Pemohon PK berpendapat penyerahan batu bara tersebut tidak terutang PPN sehingga atas pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.

Pendapat Pemohon PK tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 4A ayat (2) UU PPN 2000 jo Pasal 2 PP 144/2000 yang menyatakan barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya tidak terutang PPN. Adapun pemahaman dari batu bara yang diambil langsung dari sumbernya ialah batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.

Pemohon PK menilai seharusnya Termohon PK mengikuti ketentuan dalam UU PPN 2000 dan bukan ketentuan dalam PKP2B. Sebagai informasi tambahan, dalam PKP2B memang terdapat klausul yang menyatakan ketentuan umum mengenai PPN tetap akan merujuk pada UU PPN 1994. Terhadap klausul tersebut, Pemohon PK menginterpretasikan PKP2B akan mengikuti ketentuan perundang-undangan Indonesia yang berlaku secara umum dari waktu ke waktu.

Selain itu, Pemohon PK menilai PKP2B tidak menyiratkan secara spesifik bahwa batu bara merupakan BKP. Kemudian, meskipun dalam PKP2B menyatakan Termohon PK harus memungut PPN, hal ini bukan berarti batu bara merupakan BKP.

Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Pemohon PK tetap mempertahankan pendapatnya bahwa batu bara termasuk barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya. Dengan demikian, transaksi penyerahan batu bara dikecualikan dari pengenaan PPN sesuai UU PPN 2000 jo PP 14/2000.

Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menilai pihaknya berhak untuk mengkreditkan pajak masukan atas penyerahan batu bara. Dari aspek legalitas, Termohon PK menjelaskan kedudukan PKP2B berlaku sama atau dipersamakan dengan Undang-Undang karena telah mendapatkan persetujuan DPR dan Presiden.

Selain itu, PKP2B diberlakukan secara khusus sehingga mengesampingkan UU PPN yang bersifat umum. Artinya, transaksi yang memiliki implikasi perpajakan terlebih dahulu mengacu pada ketentuan yang diatur dalam PKP2B. Kemudian, apabila terdapat ketentuan pajak yang tidak diatur dalam PKP2B maka dapat merujuk pada peraturan perpajakan yang berlaku umum.

Berdasarkan pada PKP2B, setidaknya ada empat muatan materi di dalamnya yang dapat membuktikan batu bara sebagai BKP.

Pertama, adanya klausul yang menunjukkan PKP2B hanya mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UU PPN 1994 dan peraturan pelaksananya. Sesuai dengan penjelasan Pasal 4A UU PPN 1994, batu bara tidak termasuk kategori barang yang diambil langsung dari sumbernya. Dengan demikian, penyerahan batu bara tetap dikenakan PPN.

Kedua, Termohon PK dikukuhkan sebagai PKP serta memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas penyerahan BKP dengan tarif sebesar 10% atau tarif lain. Artinya, PKP2B mengatur bahwa saat Termohon PK telah memasuki periode operasi dan berproduksi, atas penyerahan batu bara tersebut terutang PPN dengan tarif sebesar 10% atau tarif lain.

Ketiga, Termohon PK ditunjuk sebagai pemungut pajak dan memiliki kewajiban mengenakan PPN atas impor atau atas pembelian BKP dan/atau jasa kena pajak (JKP). Keempat, adanya pasal yang mengatur mengenai PPN yang lebih bayar dan mekanisme kompensasi.

Berdasarkan pada muatan materi dalam PKP2B, dapat disimpulkan batu bara merupakan BKP. Dengan demikian, penyerahan batu bara terutang PPN dan pajak masukan atas transaksi tersebut dapat dikreditkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, batu bara yang diproduksi oleh Termohon PK tidak termasuk kriteria barang tambang yang diambil dari sumbernya. Dengan demikian, batu bara tersebut merupakan barang kena pajak yang dapat dikenakan PPN. Adapun pajak masukan atas penyerahan tersebut dapat dikreditkan.

Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai bahwa permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Sumber : news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only