Jadi Objek Pajak, Ini Kata DJP Soal PPh Pasal 21 Ditanggung Perusahaan

JAKARTA, Dengan adanya rezim baru perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan, fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja menjadi objek pajak bagi karyawannya. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (12/7/2023).

Fasilitas PPh ditanggung pemberi kerja menjadi salah satu bentuk kenikmatan yang merupakan objek pajak. Di sisi lain, pemberi kerja dapat membiayakan fasilitas PPh ditanggung pemberi kerja tersebut. Perlakuan tersebut menjadi sama dengan skema fasilitas PPh ditunjang pemberi kerja.

“Dengan adanya PP 55/2022 dan PMK 66/2023 memang tidak ada lagi dikotomi antara PPh yang ditanggung perusahaan dan ditunjang perusahaan. Mekanismenya jadi sama-sama seperti ditunjang perusahaan,” ujar Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Dian Anggraeni.

Selain mengenai perlakuan pajak natura dan/atau kenikmatan, ada pula ulasan terkait dengan peraturan baru menyangkut transfer pricing. Kemudian, ada pula bahasan mengenai kinerja fiskal.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.
PPh Natura dan/atau Kenikmatan

Dian mengatakan pemerintah akan menerbitkan peraturan baru mengenai fasilitas PPh ditunjang pemberi kerja tersebut. “Akan ada aturan yang mengatur lebih detail mengenai tunjangan PPh ini. Yang jelas sekarang adalah semua adalah tunjangan, tidak ada lagi ditanggung,” ujar katanya.

Dengan terbitnya UU HPP dan PMK 66/2023, natura dan/atau kenikmatan menjadi objek PPh bagi karyawan. Pemberi kerja berkewajiban untuk memotong PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan mulai masa pajak Juli 2023.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4) PMK 66/2023, atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh pada masa pajak Januari 2023 sampai dengan masa pajak Juni 2023 dikecualikan dari pemotongan oleh pemberi kerja atau pemberi penggantian/imbalan.

Namun, Pasal 24 PMK 66/2023 memuat ketentuan atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh pada 1 Januari 2023 –30 Juni 2023 yang belum dilakukan pemotongan PPh oleh pemberi kerja atau pemberi penggantian/imbalan.

”Atas PPh yang terutang [terkait natura dan/atau kenikmatan pada 1 Januari 2023 –30 Juni 2023] wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan oleh penerima dalam Surat Pemberitahuan PPh,” bunyi penggalan Pasal 24 PMK 66/2023.

Saat Pemotongan PPh Natura dan/atau Kenikmatan

Sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) PMK 66/2023, untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk natura, pemotongan PPh dilakukan pada akhir bulan terjadinya pengalihan atau terutangnya penghasilan (sesuai dengan peristiwa yang terjadi lebih dahulu).

Untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan, pemotongan PPh dilakukan pada akhir bulan terjadinya penyerahan hak/bagian hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan oleh pemberi.

Pembebanan Biaya Telepon Seluler, Pulsa, dan Kendaraan

Dengan adanya rezim baru perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan dalam PP 55/2022 dan PMK 66/2023, ketentuan pembebanan sebesar 50% untuk biaya telepon seluler, pulsa, dan kendaraan pada KEP-220/PJ/2002 menjadi tidak berlaku.

Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Dian Anggraeni mengatakan PMK 66/2023 memang tidak mencabut KEP-220/PJ/2022. Namun, ketentuan dalam kepdirjen tersebut sudah tidak sejalan dengan aturan yang lebih tinggi, baik PMK, PP, maupun undang-undang.

“Walaupun PMK 66/2023 tidak mencabut, tetapi secara implisit dalam aturannya dan secara filosofis ini sudah mencabut,” katanya.

Biaya 3M

Meski natura dan/atau kenikmatan yang diterima sepanjang 2022 dikecualikan dari objek PPh bagi penerimanya, biaya yang timbul akibat pemberian natura dan/atau kenikmatan tetap bisa dibiayakan oleh pemberinya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan natura dan kenikmatan yang diberikan pada 2022 dapat dibiayakan oleh pemberi sepanjang memenuhi definisi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M).

“Bisa dibiayakan oleh pemberi kerja sepanjang terkait pekerjaan dan jasa (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan),” ujar Dwi.

Penyediaan TP Doc

Pemerintah bakal mengharuskan wajib pajak untuk menyerahkan transfer pricing documentation (TP Doc) dalam waktu maksimal 1 bulan terhitung sejak Ditjen Pajak (DJP) memintanya. Menurut otoritas, jangka waktu tersebut seharusnya dapat dipenuhi wajib pajak.

“Saat SPT disampaikan, wajib pajak sudah menyampaikan kesanggupannya bahwa TP Doc tersedia. Maka ketika kami minta, harusnya tidak ada alasan. Satu bulan sudah bisa disampaikan,” ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional III DJP Khodori Eko Purwanto.

Penerimaan Bea dan Cukai

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai pada semester I/2023 mencapai Rp135,4 triliun, turun 18,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi tersebut setara dengan 44,7% dari target Rp303,2 triliun. Menurutnya, kinerja tersebut dipengaruhi turunnya penerimaan bea keluar dan cukai. Adapun, kinerja setoran bea masuk tetap positif.

“Kepabeanan dan cukai yang kontraksi cukup dalam karena adanya cukai mengalami penurunan produksi cukup signifikan,” katanya.

Sumber : ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only