Banyak Negara Butuh Uang Bayar Utang, Google Cs jadi Incaran

Pembahasan pajak perusahaan multinasional, seperti Google, Facebook, dan Tesla, hampir mendekati final setelah pembahasannya dalam forum pertemuan menteri keuangan G20 di India pada Juli lalu.

Dalam reformasi besar sistem perpajakan internasional, sekitar 140 negara, telah menyetujui perombakan norma pajak global untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak di mana pun mereka beroperasi dengan tarif minimal 15%.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal mengungkapkan pembahasan global corporate minimum tax atau pajak minimum bagi korporasi global atau multinasional di pertemuan tingkat menteri keuangan G20 di India bulan lalu berjalan dengan baik.

“Semua sudah sepakat kalau itu, kalau itu udah 15%,” ujar Yon dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu (9/8/2023).

Nantinya, aturan ini akan berlaku bagi perusahaan multinasional dengan omzet di atas 750 juta euro.

“Itu syarat yang pertama dulu. Jadi gelombang omzetnya harus 750 juta euro dulu, jadi hanya perusahaan-perusahaan ini aja yang bisa kita (pajaki). Jadi kalau ada perusahaan omsetnya di bawah itu global ya tidak akan masuk dalam skema itu,” tegasnya.

Yon mengungkapkan pembicaraan mengenai implementasi dari dua pilar perjanjian pajak global OECD tidak banyak perdebatan. Padahal, pembahasan dua pilar pajak global ini sebelumnya berjalan alot dan penuh tantangan.

Yon menilai fragmentasi global saat ini tidak menjadi penghambat. Menurutnya, semua menteri keuangan di G20 sepakat untuk menerapkan pajak minimum global.

“Yang saya tangkap adalah bahwa kelihatannya suasana kebatinannya everybody sekarang karena sudah cukup lama ini dibahas, isu BEPS ini sudah sangat tidak sehat lah intinya,” kata Yon.

Selain itu, dia menilai negara-negara tidak ingin tertinggal karena semua negara harus memperoleh hak perpajakan secara adil.

Di tengah kondisi ekonomi global saat ini, dimana banyak negara menanggung beban fiskal yang berat sebagai efek pandemi, reformasi pajak untuk mengoptimalisasi penerimaan membuka kesempatan untuk memperkuat keberlanjutan ekonomi negara.

Tidak sedikit negara yang akhirnya harus menaikkan pajak tertentu, a.l. Inggris dan Arab Saudi, setelah pandemi. Hal ini dilakukan untuk meringankan beban fiskal mereka, baik defisit anggaran dan beban utang.

“Di Arab saja tax-nya lagi banyak ya. Kita ini, fiskal kita lebih baik dari negara lain. Negara lain terpenjara oleh utang. Utang selama pandemi. Negara lain saya tidak tahu gimana mereka keluar dari jeratan utang,” katanya.

“Makanya Bu menteri selalu bilang untuk tahun ini dan tahun depan sangat kritis untuk negara G20. Mereka utangnya banyak kemarin, defisitnya gede banget, defisitnya jauh lebih gede daripada kita,” lanjutnya.

Yon memastikan Indonesia lebih beruntung, pertumbuhan ekonomi masih tumbuh 5%, inflasi dan utang terkendali, bahkan penerimaan pajaknya cukup baik.

Adapun, negara-negara G20, termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk menjalankan pilar I dan pilar II pajak global ini pada 2024.

“Kalau beberapa negara kan sudah menuntukan intention-nya untuk implementasinya di 2024, kita termasuk juga. Intensi kita mengumumkan ya sama dengan negara lain. Kalau di statement kita terakhir, rencana kita sih, kita siapkan dulu lah aturan domestik. Segala macamnya kita siapkan dulu, sambil kita lihat dulu perkembangannya terakhir,” paparnya.

Mengenal Dua Pilar Utama

Sebagai informasi, dikutip dari Kemenkeu, OECD inclusive framework memiliki dua pilar utama, yakni pilar satu dan pilar dua. Pilar satu adalah unified approach yang bertujuan untuk memungut pajak multinasional dengan tidak mempertimbangkan kehadiran fisik. Artinya, selama perusahaan mendapatkan manfaat ekonomi dari yurisdiksi atau negara terkait (significant economic presence) maka akan tetap harus membayar pajak.

Kemudian Pilar Dua mengenai Global Anti Base Erosion (Globe) yang bertujuan untuk mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global.

Rencana dalam Pilar Satu ini bukan hanya menyasar bisnis digital, melainkan seluruh sektor perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atas 20 miliar euro dan profitability atau laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto di atas 10%. Jika penerapannya berhasil, setelah tujuh tahun, threshold peredaran bruto global tersebut rencananya akan diturunkan menjadi EUR10 miliar. Namun demikian, perusahaan multinasional sektor jasa keuangan dan industri ekstraktif dikecualikan dari cakupan kebijakan dalam Pilar Satu.

Secara lebih terperinci, pilar satu nantinya akan memberikan hak pemajakan bagi yurisdiksi tempat perusahaan multinasional memperoleh penghasilan dari yurisdiksi tersebut setidaknya senilai 1 juta euro.

Sementara itu, untuk yurisdiksi dengan PDB lebih rendah dari 40 miliar euro akan memperoleh hak pemajakan apabila penghasilan perusahaan multinasional dari yurisdiksi tersebut setidaknya 250.000 euro. Selain itu, pilar satu juga mengusulkan 20% sampai dengan 30% dari residual profit (seluruh laba di atas 10% dari penghasilan) akan diberikan pada yurisdiksi pasar dengan suatu formula alokasi.

Untuk menjamin kepastian pajak, penerapan pilar satu harus dibarengi dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional yang efektif dalam mengantisipasi pajak berganda. Selain itu, pilar satu mensyaratkan tiap negara untuk membatalkan kebijakan pajak digital yang bersifat unilateral, seperti halnya digital services tax. Adapun rencana yang diusung dalam pilar satu bersifat wajib bagi seluruh negara anggota IF dan efektif diimplementasikan pada 2023.

Sementara itu, pilar dua merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global.

Pilar dua ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR). Rencana yang diusung dalam Pilar dua ditujukan bagi seluruh perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas 750 juta euro seperti halnya batasan yang ditetapkan dalam kewajiban laporan per negara (country-by-country reporting/CbCR) dokumentasi transfer pricing.

Setiap negara juga dapat menerapkan GloBE tanpa memedulikan nilai threshold jika perusahaan multinasional tersebut berkantor pusat di negara tersebut.

Namun, GloBE tidak berlaku bagi perusahaan multinasional yang ultimate parent-nya merupakan entitas pemerintah, organisasi internasional, lembaga nirlaba, dan lembaga pengelola dana pensiun dan investasi.

Selain itu, ada skema carve-out, yaitu pengecualian pemberlakukan Pilar Dua untuk fixed return yang berasal dari kegiatan ekonomi yang substantif sebesar 5,0%-7,5% penghasilan. Kegiatan ekonomi yang substantif tersebut dikaitkan dengan biaya gaji dan aset berwujud. Adapun, ketentuan GloBE juga mengecualikan penghasilan dari shipping industry.

Secara ringkas, desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Apabila terdapat selisih antara pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif di lokasi investasi suatu perusahaan multinasional, ada dua implikasi.

Selisih tersebut dapat dipajaki di negara domisili melalui income inclusion rule (penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili) dan/atau melalui undertaxed payment rule atau biaya yang dibayarkan oleh perusahaan multinasional di negara domisili ke perusahaan multinasional di negara dengan tarif pajak rendah menjadi non-deductible.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only