Bahlil Minta Pajak Minimum Global Dikaji karena Untungkan Negara Maju

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta implementasi pajak minimum global (global minimum tax/GMT) sebesar 15% agar dikaji kembali. Sebab, penerapan GMT hanya menguntungkan negara-negara maju yang memiliki daya saing investasi kuat.

“Dengan ketentuan global minimum tax, akan memengaruhi insentif investasi. Dari kesepakatan memutuskan ini butuh kajian ulang. Jangan sampai ini diimplementasikan kemudian menguntungkan satu kelompok negara tertentu. Ini kita nggak mau,” ungkap Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dikutip Investor Daily, Minggu (20/8/2023).

Pemungutan pajak minimum global telah disepakati para pemimpin ekonomi dunia yang terhimpun dalam G-20 pada pertemuannya di Paris, Prancis, 2022 lalu. Pajak minimum global akan dipungut sebesar 15%.

Menurut Bahlil, penerapan GMT saat ini belum apple to apple antara negara maju dan berkembang. Negara maju harus membuka ruang bagi negara berkembang untuk menarik investasi. “Kita ingin agar negara maju memberikan ruang bagi negara berkembang untuk mempercepat penyesuaian sehingga ketika penerapan tax income global, sudah apple to apple,” tutur Bahlil.

Untuk menarik investasi, kata dia, negara berkembang saat ini masih membutuhkan pemanis, sehingga kebijakan perpajakan negara maju tak bisa dipukul rata dengan negara berkembang. Saat ini, Kementerian Investasi/ BKPM sedang melakukan kajian agar kebijakan yang berperan sebagai pemanis (sweetener) untuk investor. “Jujur bahwa tidak apple to apple dong negara maju mau jadikan baseline yang sama dengan negara berkembang,” tandas Bahlil.

Dikatakan Bahlil, apabila GMT diterapkan terlalu dini maka akan mengganggu program hilirisasi yang sedang digalakkan pemerintah. Sebab, investor negara maju akan kembali berinvestasi ke negara asal mereka. Menurut dia, kebijakan GMT akan memaksakan negara-negara berkembang untuk mengirim bahan baku ke negara-negara maju.

“Dengan tax minimum global 15% itu, negara berkembang yang tengah mendorong hilirisasi, akan mengalami hambatan sebab pemilik modal yang punya teknologi dan modal itu akan berinvestasi di negara mereka,” papar Bahlil.

Sementara Menteri pada Kantor Perdana Menteri dan Menteri Keuangan dan Ekonomi II Brunei Darussalam Dato Dr Amin Liew Abdullah menyatakan bahwa aturan GMT ini justru semakin tidak menyeimbangkan kondisi persaingan.

“Negara-negara berkembang masih perlu meningkatkan daya saing. Aturan GMT ini tidak hanya berdampak pada negara ASEAN saja, tetapi ke negara berkembang lainnya. Kita perlu mempertimbangkan perbedaan kondisi tiap negara yang unik dan memastikan semua negara memiliki kesempatan sama dalam menciptakan pertumbuhan ekonominya,” ucap Amin.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut berbagai negara kini tengah bersiap menerapkan kesepakatan global minimum tax. Sri Mulyani mengatakan Indonesia sejauh ini masih menggunakan insentif fiskal untuk meningkatkan daya saing investasi. Menurutnya, berbagai skema insentif fiskal tersebut juga terus diasah agar efektif menarik investasi.

Sumber : www.beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only