Lebih dari 8.000 WP Diawasi Secara Bersama oleh DJP, DJPK, dan Pemda

Sejak 2019 hingga Agustus 2023 ini sudah sedikitnya 8.277 wajib pajak menjadi sasaran pengawasan secara bersama-sama antara Ditjen Pajak (DJP), Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK), dan 207 pemerintah daerah (pemda). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (24/8/2023).

Pengawasan bersama tersebut merupakan bagian dari kerja sama tripartit yang dijalankan oleh DJP, DJPK, dan pemda sejak 2017.

Pada Selasa (22/8/2023) lalu, dilakukan pembaruan kerja sama dengan 113 pemda. Dengan 5 kali pembaruan kerja sama yang dilakukan, kini total ada 367 pemda dari total 552 pemda di seluruh Indonesia yang sudah menjalin kerja sama dengan DJP dan DJPK.

“Sejak PKS tahap I dilakukan pada 2019, beberapa kegiatan bersama telah berhasil dilaksanakan. Kegiatan tersebut antara lain, … pengawasan bersama terhadap 8.277 wajib pajak dengan 207 pemda,” tulis DJP dalam siaran pers.

Melalui perjanjian kerja sama (PKS) ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa menghimpun dan mengalirkan data dan/atau informasi perpajakan. Pengawasan wajib pajak bisa dilakukan bersama-sama. Pemerintah pusat dan pemda juga bisa berbagi pengetahuan proses bisnis pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan.

DJP mengatakan kegiatan lain yang berhasil dilakukan adalah pemberian data dan informasi atas omzet wajib pajak daerah dari 207 pemda. Kemudian, ada pemadanan dan tindak lanjut atas peredaran usaha wajib pajak.

Selanjutnya, ada pemberian persetujuan izin pembukaan data perpajakan oleh menteri keuangan sebanyak 15 kali. Hal ini dilakukan untuk kebutuhan penggalian potensi penerimaan wajib pajak daerah yang terindikasi belum melaporkan pajak daerah dengan benar.

Selain mengenai pengawasan wajib pajak bersama oleh DJP, DJPK, dan pemda, ada pula ulasan terkait dengan hasil evaluasi Kemenkeu terhadap penyaluran insentif fiskal bagi investasi hijau dan desakan DPR kepada pemerintah agar merampungkan aturan teknis UU HPP.

Peningkatan Tax Ratio

Peningkatan tax ratio menjadi target bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dirjen Pajak Suryo Utomo menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki subjek yang sama. Karenanya, pertukaran data yang disepakati melalui PKS antara DJP, DJPK, dan pemda menjadi salah satu upaya untuk mendongkrak kepatuhan.

Suryo menilai masih banyak ‘ceruk’ penerimaan pajak yang bisa digali potensinya. Dia berharap sinergi antara pusat dan daerah bisa mengoptimalkan penerimaan pajak sehingga target peningkatan rasio pajak bisa terwujud. (DDTCNews, Antara)

Respons Kemenkeu Soal Pajak Minimum Global

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ikut buka suara soal pajak minimum global (global minimum tax/GMT). Hal ini menyusul pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang menilai penerapan pajak minimum global perlu ditinjau ulang.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas (P2Humas) DJP Dwi Astuti mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan pembahasan dalam lingkup internal terkait dengan implementasi pajak minimum global tersebut.

Di sisi lain, Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji memandang pengenaan pajak minimum global yang menjadi bagian dari proyek Base Eresion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 bakal memberikan manfaat.

Menurutnya, adanya tarif pajak efektif sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan kriteria tertentu di manapun Ia beroperasi dimaksudkan untuk mengurangi praktik penghindaran pajak dan tensi kompetisi pajak.

Bawono menyebut, pajak minimum global tersebut akan berdampak bagi potensi penerimaan pajak Indonesia melalui sejumlah saluran. (Kontan)

Pemerintah Didesak Rampungkan Aturan Teknis UU HPP

Fraksi Partai Nasdem meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan aturan turunan sebagai implementasi UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Aturan turunan dibutuhkan upaya peningkatan penerimaan pajak dapat dilaksanakan secara optimal.

Anggota Fraksi Partai Nasdem Fauzi H Amro mengatakan pencapaian target penerimaan pajak pada tahun depan perlu didukung oleh upaya peningkatan kepatuhan mengingat harga komoditas pada 2024 diekspektasikan tak setinggi tahun-tahun sebelumnya. (DDTCNews)

Insentif Fiskal untuk Investasi Hijau

Indonesia sangat menanti-nanti masuknya investasi hijau. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menyebutkan ada beragam skema insentif fiskal yang membuat investasi hijau lebih menarik.

Hasilnya, sejumlah investor pun ramai masuk ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Febrio menuturkan insentif fiskal yang disediakan tersebut antara lain tax holiday, tax allowance, fasilitas PPN, pembebasan bea masuk, serta pajak bumi dan bangunan (PBB).

Kemenkeu menilai pemberian insentif fiskal juga mulai terasa manfaatnya. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat komitmen investasi pada rantai pasok kendaraan listrik telah mencapai US$20,3 miliar sepanjang 2021-2022. (DDTCNews, CNBC)

Pemda Perlu Pakai NIK sebagai NPWPD

Seluruh pemda diminta mulai menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai basis dari identitas wajib pajak di daerah.

Apabila pemda menggunakan NIK sebagai nomor pokok wajib pajak daerah (NPWPD), pertukaran data antara Ditjen Pajak (DJP) dan pemda diyakini bisa dilakukan dengan lebih mudah dan efisien.

“Informasi yang dimiliki oleh pemda dan pemerintah pusat harusnya sama. Oleh karena itu, identitas tunggal mesti kita jalankan sama-sama,” kata Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only