Sektor Hulu Dinilai Perlu Badan Usaha Khusus untuk Gantikan SKK Migas, Ini Alasannya

Pengamat menilai Badan Usaha Khusus (BUK) pengganti SKK Migas sangat diperlukan agar pengusahaan migas yang bersifat business to business (B2) dapat lebih fleksibel, tidak birokratis, dan terpisah dari sistem keuangan negara. 

Sedikit kilas balik, SKK Migas terbentuk sebagai pengganti BP Migas yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 silam. SKK Migas lantas berdiri lewat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Beleid ini dipandang belum bisa menjadi dasar hukum yang kuat bagi eksistensi SKK Migas.

Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, secara umum sistem model kelembagaan dalam pengelolaan hulu migas harus sinkron dengan jenis kontrak yang digunakan. 

“Nantinya sistem dan kelembagaan tersebut memungkinkan dijalankannya tiga prinsip yakni penyederhanaan perizinan usaha dan kegiatan operasional hulu migas, prinsip assume and discharge dalam perpajakan, dan prinsip pemisahan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (24/9). 

Lebih lanjut, Pri Agung menjelaskan, prinsip penyederhanaan perizinan usaha dan perizinan kegiatan operasional hulu migas ini akan menjadi satu atap (satu pintu).

Kemudian, prinsip assumme & discharge dalam perpajakan ialah kontraktor dibebaskan dari pajak-pajak tidak langsung. Sedangkan Pajak Penghasilan (Pph) dan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat dipungut melalui lembaga khusus tersebut. 

Prinsip pemisahan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara ialah persoalan investasi dan bagi hasil hulu migas adalah persoalan bisnis yang semestinya dipisahkan dari sistem pengelolaan keuangan negara dan APBN. 

“Jadi, sederhananya, model yang memungkinkan untuk mengakomodir tiga prinsip itu, ialah yang sinkron dengan sistem kontrak kerja sama yang kita gunakan saat ini adalah model lembaga badan usaha khusus (BUK),” terangnya. 

Badan usaha khusus diperlukan agar pengusahaan hulu migas yang bersifat B2B dapat lebih fleksibel, tidak birokratis, dan terpisah dari sistem keuangan negara.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menceritakan, dirinya beberapa kali ditanyakan investor perihal posisi SKK Migas saat ini yang masih berbentuk special task force (satuan kerja khusus) yakni badan usaha sementara. Persoalan ini kerap mencerminkan ketidakpastian usaha di Indonesia. 

“Investor itu harus ada kepastian berinvestasi di Indonesia.  Sebenarnya investor yang ada di sini berpikirnya kan sekarang sudah berjalan dengan SKK Migas, lalu mau diapain lagi? Jadi tidak mau ada perubahan. Supaya halus  perubahannya, dilakukan perubahan sedikit saja. Dari SKK Migas menjadi apa, jadi lebih mudah menganalogikannya,” jelasnya dalam rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Selasa (29/8).

Tutuka mengungkapkan, cukup banyak masukan yang datang perihal kelembagaan SKK Migas. Namun dirinya lebih menyoroti pentingnya memutakhirkan substansi kebijakan hulu migas melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Migas. 

Dirjen Migas menyatakan, saat ini investor hulu migas tidak bergairah datang ke Indonesia karena tingkat pengembalian investasi di sini lebih rendah dibandingkan negara lain. Tutuka memberikan gambaran, di negara lain internal rate of return (IRR) sudah mencapai 20% sedangkan di Indonesia baru 10%. 

“Investasi di Indonesia agak sulit, ini yang diperbaiki. Maka kami mengubah UU ini supaya komparatif naik, fiscal term dan skema bisnis diubah supaya iklim bisnis lebih baik. Investor bisa masuk, nyaman di sini, eksploitasi, eksplorasi bisa  lama sehingga bisa betah di sini,” ujarnya. 

Tutuka menyebut, saat ini KKKS besar yang tersisa di Indonesia hanya tiga yakni ENI, Exxon, dan BP. Jika peraturan hulu migas masih saja tidak berubah, dia melihat, daftar perusahaan yang hengkang bisa saja bertambah. 

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto menjelaskan, revisi UU Migas sangat penting untuk mencapai target pemerintah di 2030 dan mengikuti perubahan atau dinamika global yang mengarah pada industri berkelanjutan. 

“Melalui RUU Migas diharapkan bisa memasukkan teknologi Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan Enhanced Oil Recovery (EOR) sehingga tidak menjadi perdebatan mengenai kedua aspek ini apakah masuk pada petroleum operation atau tidak,” jelasnya beberapa waktu lalu. 

Kemudian, melalui revisi kebijakan, penemuan cadangan migas besar bisa lebih tumbuh. Menurutnya, kegiatan eksplorasi migas sangat berisiko sehingga jika beban-beban banyak diurus oleh investor, maka eksplorasi migas di Indonesia belum menarik. 

“Dalam industri migas, butuh investasi besar sebagai ketahanan energi kompetitif dan ini yang telah kami sampaikan jadi butuh badan kelembagaan pengelolaan hulu migas yang kuat,” tegasnya.  

Pada 31 Agustus lalu, Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyampaikan ada 73 pasal perubahan atas RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) hasil dari kajian Panitia Kerja (Panja). 

RUU Migas telah memenuhi syarat formil untuk diajukan karena RUU tersebut masuk dalam kategori dalam RUU Daftar Kumulatif Terbuka atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tercantum dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023 dan telah disertai dengan Naskah Akademik.

Berdasarkan kajian secara keseluruhan yang mencakup aspek teknis, substansi dan asas-asas, pada prinsipnya RUU tentang Migas yang diusulkan oleh Komisi VII DPR RI terdiri dari beberapa pasal, kurang lebih ada 73 pasal perubahan dengan rincian sebagai berikut. 

Ada 31 pasal yang dilakukan perubahan yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 58, kemudian ada 1 pasal yang sifatnya menghapus, ada 41 pasal yang sifatnya sisipan baru. Serta ada beberapa judul dari bab-bab yang ada dalam UU nomor 22 tahun 2001 tersebut dilakukan perubahan sekaligus juga penyempurnaan dan penambahan yaitu BAB VA, BAB VIA, BAB IX, BAB IXA, BAB IXB, BAB IXC, BAB IXD, dan BAB IXE.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Baleg selanjutnya melakukan kajian yang meliputi aspek teknis, aspek substansi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kajian dilakukan secara komprehensif dari mulai judul sampai dengan penjelasan.

Sumber: industri.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only