Mengenal STTR, Senjata Baru Sri Mulyani untuk Tarik Pajak Global

Pemerintah Indonesia berpotensi mendapatkan “senjata baru” untuk menggenjot penerimaan negara lantaran Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 terkait Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menyelesaikan negosiasi mengenai instrumen multilateral yang akan memfasilitasi penerapan pajak minimum global.

Instrumen multilateral tersebut akan melindungi hak negara-negara berkembang yang memastikan perusahaan multinasional membayar pajak minimum atas berbagai transaksi intra-grup lintas negara, termasuk untuk jasa.

Sekretaris Jenderal Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Mathias Cormann menyampaikan bahwa konvensi multilateral untuk memfasilitasi penerapan Peraturan Subjek Pajak atau Subject to Tax Rule (STTR).

Apa itu Subject to Tax Rule atau STTR?

Secara singkat, STTR merupakan aturan berbasis perjanjian yang berlaku untuk pembayaran intragrup dari yurisdiksi sumber (yaitu, yurisdiksi tempat timbulnya penghasilan) yang dikenai tarif pajak di bawah 9 persen di yurisdiksi tempat tinggal penerima pembayaran.

Nantinya, STTR membuka celah bagi negara berkembang termasuk Indonesia mengeksekusi topup tax atau pungutan selisih tarif Pajak Penghasilan (PPh).

OECD mengatakan STTR merupakan bagian penting dari solusi dua pilar untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi. Konvensi yang saat ini terbuka untuk ditandatangani, menurutnya merupakan langkah besar dalam menyelesaikan pembahasan pilar kedua.

SSTR memungkinkan negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak atas pembayaran intra-grup perusahaan tertentu, jika terdapat transaksi yang dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) di bawah 9 persen

STTR memungkinkan negara asal perusahaan untuk mengenakan pajak di mana mereka tidak dapat melakukannya di bawah ketentuan perjanjian pajak.

Subjek Pajak STTR

Ada tujuh jenis transaksi yang menjadi subjek dari mekanisme STTR, yakni bunga, royalti, pembayaran layanan tertentu, premi asuransi dan reasuransi, biaya pembiayaan, sewa, serta imbalan atas penyedia jasa.

Sebagai contoh, apabila dalam sebuah perusahaan terdapat transaksi pem-bayaran royalti ke negara lain, dan royalti tersebut dikenakan tarif sebesar 3 persen di negara domisili, maka Indonesia selaku negara pasar berhak melakukan topup atau memungut pajak sebesar 6 persen.

Adapun, besaran tarif yang bisa dikutip oleh otoritas pajak pun amat beragam, tergantung pada tarif yang berlaku pada negara domisili. Singkatnya, hak atas Indonesia adalah selisih dari tarif minimum sebesar 9 persen dengan tarif yang berlaku di negara domisili.

Jika aturan STTR disetujui, maka bisa menjadi angin segar bagi pemerintah yang terus berjuang melakukan reformasi pajak dalam rangka mengoptimalisasi penerimaan negara.

Dengan adanya skema ini, maka hak pemajakan bisa dilakukan tanpa harus melakukan negosiasi bilateral melalui Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Instrumen multilateral baru ini pun memungkinkan negara-negara secara efisien mengimplementasikan STTR dalam perjanjian pajak bilateral yang ada. Adapun, lebih dari 70 negara berkembang anggota Kerangka Kerja Inklusif berhak meminta penyertaan STTR dalam perjanjian mereka dengan anggota Kerangka Kerja Inklusif yang menerapkan tarif pajak penghasilan badan di bawah 9 persen.

“Pengadopsian instrumen multilateral baru ini didasarkan pada Outcome Statement yang disampaikan pada Juli lalu sebagai bagian dari implementasi penuh reformasi pajak global, dan mencerminkan betapa produktif dan positifnya komunitas internasional bekerja sama memberikan solusi bagi negara-negara berkembang,” kata Mathias dalam keterangan resmi dikutip, Rabu (4/10/2023).  

Dia mengatakan STTR menetapkan ketentuan komprehensif untuk memastikan negara-negara berkembang dapat menarik pajak kembali jika transaksi yang dilakukan di negara mereka tidak dikenakan pajak dengan tarif minimum di negara mitra. 

“Dengan diterbitkannya instrumen multilateral untuk ditandatangani menandai kemajuan lebih lanjut terhadap penerapan pajak minimum pilar dua, serta langkah besar lebih lanjut untuk menstabilkan sistem pajak internasional kita dan membuatnya lebih adil dan bekerja lebih baik,” tutur Mathias.

Dia menambahkan bahwa Instrumen multilateral ini telah dikembangkan dalam satu tahun terakhir, melalui negosiasi yang melibatkan semua negara anggota Kerangka Kerja Inklusif termasuk negara-negara anggota OECD, negara anggota G20, dan negara maju dan berkembang lainnya.

Lebih lanjut, OECD, kata dia,  juga tengah mempersiapkan action plan yang komprehensif untuk mendukung implementasi pilar kedua yang cepat dan terkoordinasi, dengan dukungan tambahan dan bantuan teknis untuk meningkatkan kapasitas implementasi oleh negara-negara berkembang.

Sumber : ekonomi.bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only