Misi Penyelamatan Lingkungan Lewat Pajak oleh Presiden Terpilih 2024

DUNIA kini sedang dalam keadaan darurat akibat perubahan iklim yang menyebabkan gelombang panas di berbagai negara. Tugas pertama presiden terpilih pada 2024 sudah seharusnya terkait dengan penyelamatan lingkungan.

Nyatanya, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kelangsungan hidup lingkungan alam, tetapi juga perekonomian. Menurut kajian Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2019), perubahan iklim dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi Indonesia hingga mencapai Rp544 triliun selama 2020 hingga 2024 atau kurang lebih senilai Rp100 triliun per tahun.

Jumlah kerugian dalam setahun tersebut cukup untuk membiayai pembangunan Kota Surabaya selama 20 tahun. Hal ini dikarenakan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) kota terbesar kedua di Indonesia tersebut pada 2022 senilai Rp5,1 triliun.

Pemanasan global itu terjadi akibat makin banyaknya jumlah emisi karbon di atmosfer sehingga membentuk sebuah fenomena yang dinamakan gas rumah kaca (GRK). Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara berpacu untuk menurunkan emisi, termasuk Indonesia melalui penerbitan PP 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK.

Dari sisi perpajakan, upaya bisa dilakukan dalam wujud kebijakan green tax dan green incentive. Kebijakan green tax mengacu pada pemberlakuan pajak terhadap perusahaan yang operasional usahanya memiliki dampak kerusakan alam. Sementara kebijakan green incentive lebih mengacu pada pemberian stimulus terhadap perusahaan yang operasional usahanya memperhatikan faktor kelestarian lingkungan.

Kebijakan green tax ataupun green incentive masih jarang di terapkan di Indonesia. Kebijakan green tax sejauh ini baru akan diterapkan dalam wujud pengenaan pajak karbon pada industri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sesuai dengan UU HPP. Perhitungan pajak karbon tersebut menggunakan mekanisme tarif pajak minimal sebesar Rp30 per satuan kilogram karbon.

Di sisi lain, salah satu kebijakan green incentive di Indonesia selama ini diterapkan melalui PP 74/2021 tentang PPnBM. Regulasi ini mengganti aturan sebelumnya yang mengenakan PPnBM pada kendaraan bermotor berdasarkan pada mesin dan bodi menjadi berdasarkan pada jumlah emisi yang dihasilkan.

Mendesain Pengembangan Kebijakan Green Tax dan Green Incentive

KEBIJAKAN green tax di Indonesia dapat diperluas melalui pengembangan yang didasarkan pada perhitungan emisi karbon. Sebagai contoh, pajak karbon yang rencananya akan diterapkan pada sektor industri PLTU batu bara dapat dikembangkan pada sektor lainnya.

Data Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan selama 2016-2020, jumlah emisi yang dihasilkan seluruh lapangan usaha di Indonesia berkisar antara 440–594 juta ton per tahun. Emisi ini didominasi sektor energi, transportasi, dan industri manufaktur.

Dengan demikian, pengenaan pajak karbon dapat dikembangkan pada dua sektor selain sektor energi yang saat ini berfokus pada PLTU. Sebagai perbandingan, beberapa negara di dunia yang sudah menerapkan pajak karbon pada sektor transportasi dan manufaktur adalah Finlandia, Swiss, Kanada, Meksiko, dan Jepang (World Bank, 2020).

Kemudian, green incentive dapat pula dikembangkan ke dalam beberapa alternatif kebijakan. Pertama, pemberian insentif pajak terhadap perusahaan jika mampu meminimalkan kadar emisinya sesuai dengan batas emisi yang ditetapkan pemerintah.

Insentif pajak tersebut dibagi ke dalam beberapa jenjang tarif insentif berdasarkan pada batas emisi yang ditetapkan. Misalnya, diskon tarif 20% untuk perusahaan yang dapat meminimalkan jumlah emisi tidak melebihi 50.000 ton CO2 per tahun. Kemudian, diskon tarif 15% untuk jumlah emisi 50.001-100.000 ton CO2 per tahun.

Standar perhitungan batas emisi ini didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (2012) yang menunjukkan perusahaan sektor pengadaan listrik dan gas di Indonesia rata-rata menghasilkan 170.632 ton emisi CO2 per tahunnya. Diskon tarif pajak tersebut dapat dikurangkan dari PPh Pasal 25 terutang yang dikenakan untuk badan usaha.

Kedua, pemberian insentif berupa pengurangan dasar pengenaan pajak atau yang biasa dikenal dengan istilah tax allowance. Di Indonesia, dasar hukum tax allowance diatur dalam UU 7/1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP.

Alternatif insentif jenis ini dapat diberikan dalam wujud pengurangan pajak kepada perusahaan yang menanamkan modalnya untuk mitigasi perubahan iklim dan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Jenis mitigasi perubahan iklim yang biayanya dapat diklasifikasikan sebagai pengurang dasar pengenaan pajak mengacu pada PP 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.

Sementara itu, klasifikasi biaya energi baru terbarukan yang dapat digunakan sebagai pengurang dasar pengenaan pajak mengacu pada Perpres 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Mengingat tingginya tingkat urgensi penanganan perubahan iklim, kebijakan green tax dan green incentive ini dapat menjadi senjata andalan bagi calon presiden (capres) mendatang. Kontestasi politik pada 2024 ibarat perlombaan merebut hati seluruh masyarakat Indonesia.

Kepiawaian capres dalam mengatasi perubahan iklim mutlak diperlukan dalam rangka mewujudkan visi pemerintah untuk mengurangi emisi hingga 29% pada 2030 dan menjadi net zero emission pada 2060. Hingga pada akhirnya, kebijakan green tax dan green incentive dapat menjadi masterpiece langkah bidak catur politik yang sangat brilian dalam memenangkan pemilu 2024.

Sumber : news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only