Optimalisasi Pajak dengan Melihat Karakteristik Gen Z dan Milenial

INDONESIA akan mengalami bonus demografi pada 2030-2040. Dengan proyeksi penduduk sebanyak 297 juta jiwa, akan terdapat 64% penduduk berusia produktif (15-64 tahun).

Diskusi yang sering muncul pada akhirnya terkait pemanfaatan momentum bonus demografi untuk mengakselerasi kemajuan Indonesia. Pasalnya, bonus demografi yang tidak dimanfaatkan dengan baik akan menjadi bencana pada masa depan.

Hasil penelitian WR Jati (2015) menyatakan bonus demografi di Indonesia belum cukup kuat mendorong dari sisi produksi. Salah satu penyebabnya adalah banyak pekerja informal yang masih belum cukup kompetitif dalam industri strategis.

Kondisi terkait dengan sumber daya manusia (SDM) memang menjadi tantangan. Salah satu permasalahannya, menurut menteri ketenagakerjaan, adalah sebagian besar dari penduduk berusia produktif (68%) hanya mengenyam pendidikan hingga SD dan SMP.

Kebijakan fiskal bisa menjadi salah satu bagian dari respons pemerintah atas situasi tersebut. Pemerintah perlu meramu kebijakan fiskal yang tepat agar mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas. Kebijakan fiskal baik dari penerimaan maupun pengeluaran.

Todaro dan Smith (2015) berpendapat sumber daya yang utama untuk membiayai upaya pembangunan publik harus berasal dari pendapatan, bukan utang. Oleh karena itu, pengumpulan pajak—kontributor terbesar pendapatan—harus efisien dan berkeadilan.

Kendati demikian, tidak dimungkiri potensi pajak suatu negara tergantung pada tingkat pendapatan per kapita, tingkat ketimpangan, struktur ekonomi, kondisi sosial politik, dan kelembagaan. Ada pula faktor kompetensi, integritas, serta kejujuran otoritas perpajakan suatu negara.

Di sisi lain, hipotesis Wiseman-Peacock (1961) menyatakan pola belanja pemerintah akan meningkat tidak secara bertahap pelan-pelan dan berkelanjutan, tetapi justru dengan mengalami kenaikan sangat besar dan secara tiba-tiba.

Bird, Vazquez, dan Torgler (2004) menyatakan negara-negara berkembang menghadapi masalah keuangan dan membutuhkan belanja lebih untuk infrastruktur publik, layanan kesehatan, dan pendidikan.

Oleh karena itu, peningkatan tax effort harus dilakukan agar berkorelasi dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Kebutuhan belanja pemerintah yang terus meningkat harus diimbangi dengan pertumbuhan penerimaan dari pajak.

Perilaku Gen Z dan Milenial

SALAH satu peluang untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan penerimaan pajak adalah memanfaatkan perluasan basis pajak dari bonus demografi itu sendiri. Untuk itu, pemerintah selanjutnya perlu melihat perilaku gen Z dan milenial.

Berdasarkan pada sebuah survei global 2022 tentang gen Z dan milenial, gaji bukan pertimbangan utama dalam keputusan memilih pekerjaan. Sebanyak 32% responden gen Z dan 39% milenial menyatakan work life balance menjadi pertimbangan mereka bekerja di perusahaan saat ini.

Adapun istilah work life balance tersebut merujuk pada suatu kondisi ketika seseorang bisa mengatur waktu dan energi yang seimbang antara pekerjaan, kebutuhan pribadi, kehidupan berkeluarga, dan rekreasi.

Selain itu, masih berdasarkan pada survei tersebut, prioritas mereka adalah kesempatan belajar atau bekerja untuk mengembangkan diri. Setelah itu, mereka baru mempertimbangkan gaji yang tinggi atau keuntungan finansial lainnya saat bekerja.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun rencana optimalisasi penerimaan pajak berdasarkan pada basis pemajakan sesuai dengan karakteristik generasi yang akan dominan. Salah satu jenis pajak yang dapat diharapkan berkesinambungan adalah pajak penghasilan (PPh) orang pribadi.

Pertimbangan work life balance menunjukkan bahwa loyalitas terhadap satu perusahaan mungkin bukan pilihan yang disukai. Oleh karena itu, sistem pemajakan harus lebih dapat menangkap fenomena tersebut.

Pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan terkait dengan fasilitas yang diberikan perusahaan terhadap pegawai merupakan langkah awal yang perlu dievaluasi dalam jangka pendek. Pemerintah perlu melihat efektivitas penerapan kebijakan tersebut.

Kemudian, pengenaan pajak atas konsumsi merupakan sumber utama pendapatan negara. Penataan ulang objek dan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan langkah awal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Kendati demikian, masih terdapat gap yang cukup tajam di sini. Daya pungut PPN masih terbatas. Tingkat pengumpulan penerimaan PPN pada paruh pertama tahun ini hanya sebesar 59,31%. Tingginya belanja perpajakan akibat fasilitas PPN juga menjadi tantangan pada masa mendatang.

Selain itu, perluasan basis pemajakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) merupakan suatu pilihan yang juga perlu dipikirkan. Isu-isu pajak ini perlu mendapat perhatian para calon presiden dan calon wakil presiden yang maju dalam pemilu 2024.

Sumber : news.ddtc.co.id 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only