Apresiasi Pembayar Pajak

Kepatuhan wajib pajak kian membaik dalam satu dekade terakhir, meski memang masih perlu terus ditingkatkan. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang di atas target pemerintah jelas ditopang setoran para wajib pajak yang melonjak, di tengah kondisi perekonomian global yang suram.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2022 tercatat sangat impresif, menembus 5,31% (cumulative to cumulative/ctc), melampaui target pemerintah 5,2% atau kembali mencapai level 5% seperti sebelum pandemi Covid-19. Hal ini ditunjang melambungnya penerimaan pajak yang berhasil mencapai Rp 1.717,8 triliun, atau 115,6% dari target Perpres No 98/2022.

Kenaikan penerimaan pajak tahun lalu menembus 34,3%, jauh melewati pertumbuhan pajak tahun 2021 sebesar 19,3%. Realisasi pajak ini selama dua tahun berturut-turut melampaui target.

Tak hanya itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kepatuhan wajib pajak juga cenderung meningkat. Rasio kepatuhan wajib pajak dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) hingga Juni 2012 hanya sebesar 45,5% atau 10 juta. Namun, pada 2022, penyampaian SPT untuk pajak penghasilan (PPh) mencapai 83,2%.

Dalam tiga tahun terakhir, tingkat kepatuhan pelaporan SPT WP badan naik dari 60% ke 67%. Sedangkan kepatuhan WP orang pribadi naik dari 79% ke 89%.

Untuk korporasi, bisa dikatakan, mereka sudah patuh mengingat risikonya besar. Hal ini berbeda halnya dengan usaha kecil dan menengah (UKM) yang seringkali abai atau tidak mengerti. Wajib pajak perorangan juga masih banyak yang belum patuh.

Korporasi ini tercatat berperan sangat besar dalam menyumbang kenaikan pertumbuhan pajak saat harga komoditas energi, pangan, dan mineral melambung tinggi tahun lalu. Ini mulai dari minyak sawit, batu bara, nikel, hingga berbagai mineral yang lain.

Di Tanah Air, mayoritas usaha masih masuk kategori mikro, menembus 63,96 juta atau 99,6% merujuk data Kemenkop dan UKM. Usaha kecil tercatat hanya 193.959 atau 0,3%, menengah 44.728 (0,06%), dan yang besar cuma 5.550 (0,01%). Sedangkan yang sudah go public dari usaha menengah hingga besar baru sebanyak 848.

Jumlah wajib pajak (WP) diperkirakan sekitar 66,3 juta berdasarkan data DJP yang dirilis tahun lalu. Sementara itu, yang membayarkan pajak penghasilan diperkirakan baru sekitar 19 juta.

Oleh karena itu, UKM perlu didorong untuk mematuhi kewajiban pajak yang menjadi sumber pendanaan untuk pembangunan di Tanah Air. Upaya mendorong kepatuhan ini perlu dilakukan dengan memberi insentif UKM yang taat membayar pajak, misalnya diberi bantuan program pemerintah Kredit Usaha Rakyat (KUR) bersubsidi dengan bunga yang harus ditanggung nasabah tetap 3%, seperti tahun lalu.

Dalam ketentuan baru yang dikeluarkan pemerintah tahun ini, debitur yang pertama kali mengakses KUR mikro dikenakan bunga 6%. Sedangkan untuk yang kedua kali naik menjadi 7%, ketiga kali 8%, dan keempat kali 9%.

Padahal, bantuan permodalan murah ini sangat penting untuk memberdayakan UKM agar naik kelas, sehingga sektor formal kita bisa bertumbuh signifikan dan memberikan upah pekerjanya lebih baik. Selain itu, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) pekerja formal juga sudah dipotongkan dan dibayarkan lewat pemberi kerja (perusahaan).

Selama ini, kebanyakan pekerja Indonesia bekerja di sektor informal, yang upahnya kecil dan tidak ada jaminan sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 80,24 juta orang masih bekerja di sektor informal, atau setara 59,31% dari total penduduk bekerja di dalam negeri yang mencapai 135,3 juta orang. Sedangkan yang bekerja di sektor formal hanya 55,06 juta orang atau 40,69%, berdasarkan survei Agustus lalu.

Di sisi lain, upaya untuk mendorong kepatuhan pelaporan dan pembayaran pajak tentu saja juga harus diimbangi dengan reformasi mental para pejabat negara tidak lagi korupsi, apalagi para pegawai pajak. Para pegawai DJP khususnya juga harus menampakkan apresiasi dan menghormati pembayar pajak, dengan tidak bergaya hidup hedonis dan memberi contoh terdepan patuh pajak bersama keluarganya.

Para pejabat negara ini tidak layak berfoya-foya, mengingat orang miskin dan rawan miskin di Tanah Air masih luar biasa sangat banyak. Jumlahnya diperkirakan sekitar 151,80 juta jiwa tahun 2022. Hal ini merujuk data peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) yang masuk kategori penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 151,80 idjuta berdasarkan catatan BPJS Kesehatan. Ini mencapai 55,36% dari seluruh penduduk Indonesia sebanyak 274,20 juta orang.

Separuh lebih rakyat kita yang masih hidup memprihatinkan ini juga harus membayar pajak, setidaknya membayar pajak pertambahan nilai (PPN) barang-barang kebutuhan hidup yang dibeli. Apalagi, melalui Undang-Undang baru No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah menaikkan tarif PPN dari semula 10% menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April 2022, yang masih akan dinaikkan kembali menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. 

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only