Tunjangan Kinerja Aparat Pajak Harus Dievaluasi

Tax ratio Indonedia masih rendah, padahal seharusnya jadi tolak ukur kinerja aparat pajak

Pemerintah perlu mengevaluasi sistem pemberian tunjangan kinerja (tukin) yang kepada pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu). Saat ini dinilai menjadi momentum yang tepat untuk mengevaluasi pemberian tukin itu, setelah terungkapnya sejumlah pegawai pajak yang pamer harta, bahkan tak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Apalagi penerimaan pajak beberapa tahun belakangan juga tak sepenuhnya berkat kinerja aparat pajak. Betul, realisasi penerimaan pajak dua tahun terakhir memang melampaui target, yakni 104% dari target pada 2021 dan 115,61% di 2022.

Namun, kinerja pajak dua tahun belakangan, lebih didorong oleh faktor eksternal berupa tingginya harga komoditas. Sementara di saat bersamaan, rasio penerimaan pajak masih rendah, yakni di bawah 10% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Anggota Komisi XI Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad menilai, pemerintah perlu mengevaluasi sistem tukin yang diterapkan di Ditjen Pajak selama ini secara menyeluruh. Selain itu, “Pemerintah perlu sungguh-sungguh memikirkan posisi Ditjen Pajak. Apakah harus dibuat badan tersendiri yang terpisah dari Kemkeu,” kata Kamrussamad, kemarin.

Tepat sebelum Sri Mulyani kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan, pemerintah memang berencana memisahkan Ditjen Pajak dari Kemkeu. Pemerintah ingin Ditjen Pajak berubah menjadi lembaga yang langsung berada di bawah presiden.

Namanya sudah digadang; Badan Penerimaan Pajak (BPP). Namun, rencana tersebut menguap begitu saja.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap tiga hal terkait tukin di Ditjen Pajak. Pertama, tukin pegawai pajak yang belum mencerminkan upaya reformasi pajak yang efektif.

Kedua, tukin pegawai pajak yang terlalu timpang dengan kementerian dan lembaga (K/ L) lain menimbulkan demoralisasi atau menurunnya etos kerja pada aparatur sipil negara (ASN) K/L lain. Ketiga, besarnya tunjangan memicu gaya hidup hedon yang pada akhirnya memunculkan persepsi negatif di masyarakat.

Oleh sebab itu, “Perlu penyesuaian tukin setidaknya 20% hingga 30% dari tukin saat ini, tapi dilakukan secara proporsional. Harus ada komite audit tukin untuk menentukan tukin yang ideal,” kata Bhima kemarin.

Pemerintah juga perlu memikirkan secara serius mengenai posisi Ditjen Pajak.

Namun, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai bahwa tukin pegawai pajak saat ini sudah sangat memadai dan tidak perlu direvisi kembali. Dia menyatakan, justru penurunan tukin pegawai Ditjen Pajak dapat berimbas pada makin maraknya praktik kongkalikong antara aparat pajak dengan wajib pajak. Apalagi, menurutnya permasalahan mendasar yang menjerat eks pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo bukan terletak pada tukin, melainkan pada moralitas.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyatakan, kenaikan tukin pegawai pajak salah satunya bertujuan untuk menjaga agar SDM berkualitas di Ditjen Pajak bisa bertahan. Hal tersebut lantaran selama ini banyak pegawai pajak yang ditarik menjadi pegawai swasta atau kantor konsultan.

Meski demikian, “Kalau ingin mencegah terjadinya tindak korupsi, kenaikan tunjangan tidak bisa berdiri sendiri. Perlu diikuti dengan kenaikan pengawasan internal dan sebagainya,” ujarnya.

Sumber : Harian Kontan 4 Maret 2023 Halaman 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only