Melawan Mafia Pajak

Kasus Penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo, anak pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo terhadap Cristalino David Ozora membongkar borok aparat pajak. Rafael pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilaporkannya per 2021 memiliki total kekayaan Rp 56 miliar. Belakangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga telah membekukan lebih dari 40 rekening Rafael Alun dan juga orang dekat Rafael, seperti anak dan istri dengan nilai transaksi sekitar Rp 500 miliar pada periode 2019 hingga 2023.

Tahun 2010-20122 masyarakat dihebohkan dengan kasus Gayus Tambunan, pegawai golongan III A di Direktorat Jenderal Pajak yang punya rekening puluhan miliar rupiah. Kasus ini mengguncangkan masyarakat karena sebelumnya Tim Reformasi Birokrasi pernah menyatakan bahwa Kementerian Keuangan merupakan instansi yang sukses dalam menjalankan reformasi birokrasi.

Nyatanya, di Kementerian Keuangan tersebut berkeliaran mafia pajak selain Gayus. Di antaranya, Denok Taviperiana, dalam kasus suap untuk memuluskan restitusi pajak, Tommy Hindratno (kasus suap restitusi pajak PT Bhakti Investama), Totok Hendriyatno (manupulasi restitusi pajak dari PT Surabaya Agung Industry dan Paper), Handang Soekarno (kasus suap penyelesaian pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia), Dadan Ramdani dan Angin Prayitno (kasus suap penerimaan hadiah atau janji terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 di DJP).

Bahkan, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2005 sampai 2019, sedikitnya ada 13 kasus korupsi perpajakan di mana 24 orangnya dari kasus itu adalah pegawai pajak, dengan total nilai suap senilai Rp 160 miliar. Program reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan nyatanya sebatas lips service. Belum menyentuh pada urat nadi tata kelola yang berbasis pada mentalitas dan budaya kerja.

Terkuaknya perilaku Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmawanto yang kerap memamerkan hidup mewah: mengendarai motor gede (moge), hingga naik pesawat pribadi dengan harta kekayaannya mencapai Rp 15,7 miliar, membuktikan hal tersebut.

Tujuan reformasi birokrasi sejatinya untuk meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas birokrasi melalui implementasi azas kinerja kelembagaan yang berkualitas. Misalnya, melalui prinsip reward and punishment (Dwiyanto, 2008). Namun, itu harus disokong sistem pengawasan subtantif untuk memastikan pelaksanaan tanggung jawab, internalisasi prinsip birokrasi integritas dapat dijalankan.

Bercermin pada kasus di atas, harus diakui komitmen dan kesadaran pemimpin dalam membudayakan nilai reformasi birokrasi masih lemah. Otoritas dan pengetahuan yang di miliki justru digunakan untuk memanipulasi aturan yang ada. Dalam teori administrasi negara dikenal istilah eugenetika administrasi negara yang diambil dari mekanisme rekayasa biologis manusia untuk menghasilkan benih yang berkualitas atau cerdas (Makmur & Thahier 2018). Dalam lingkungan birokrasi, eugenetika aparatur menjadi untuk mendorong pegawai terus bertransportasi dari waktu ke waktu dari segi pola pikir, keterampilan dan metalitas kerja.

Demikian juga dari segi eugenetika organisasi. Birokrasi harus tumbuh menjadi lingkungan kerja yang sistem, budaya, mekanisme dan fasilitas serta mencapai kinerjanya jauh lebih baik dari waktu sebelumnya. Preseden oknum pegawai pajak yang mengejar keuntungan diri yang dituntun oleh tangan-tangan gaib lewat perilaku derivat, seperti gaya hidup hedon menunjukkan lenyapnya spirit eugenetika itu dalam reformasi birokrasi khususnya di DJP.

Di media sosial bukan hanya Mario dengan budaya flexing nya yang disorot, namun ibunya juga kerap memamerkan kemewahan menggunakan barang-barang berharga fantastis hingga berbagai foto liburan di luar negeri. Ada juga klub moge bernama Belasting Rijder milik para pegawai DJP. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa praktek hedonis dimaksud punya potensi besar korupsi.

Hedon = korup

Menyitir Abdullah Hehamahua, mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 1.300-an orang yang ditangkap KPK karena kasus korupsi, 86%nya berpendidikan tinggi dan bergaya hidup hedon. Hidup gaya mewah di kalangan pegawai pajak ini juga menjadi bukti redupnya eugenetika etika dan moralitas pegawai.

Tunjangan Kinerja (Tukin) yang jauh lebih tinggi dari kemeterian atau lembaga lain, bukan menjadi motivasi menumbuhkan etika dan profesionalisme kerja, malah menumpuk konsumerisme dan keserahkahan yang menciderai keadilan publik.

Padahal Plato (dalam Stevenson 1994), pernah mengingatkan, “there should exist among the citizens neither extreme poverty nor excessive wralth for both are productive of great evil”, (seharusnya tidak ada kemiskinan ekstrim dan kekayaan ekstrim di antara warga karena keduanya menghasilkan kejahatan besar).

Pajak sejatinya merupakan penghubung (nexus) antara negara dan pemerataan (ekonomi), serta memulihkan relasi dan kepercayaan publik terhadap negara (politik). Jika fungsi pajak kemudian dikapitalisasi untuk memperkaya diri atau golongan tertentu maka relasi ekonomi dan politik yang diupayakan oleh sistem pajak tidak akan pernah mampu merekatkan jarak psikologis antara rakyat dan negara.

Itu sebabnya, kasus di atas harus menjadi momentum negara untuk melawan mafia pajak dengan menjamin sistem pengelolaan perpajakan yang berintegritas. Bagaimana menjamin sistem pengelolaan hasil pajak berbasis keadilan dan akuntablitas, sehingga hasil pajak teredistribusi secara baik di masyarakat. Untuk apa target penerimaan pajak digenjot sebagai indikator kinerja pegawai, jika target tersebut justru masuk di kantong-kantong oknum nakal.

Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan Tukin di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), karena ternyata tidak ada korelasi antara remunerasi dengan dengan kinerja. Reformasi birokrasi juga harus berbasis pada keadilan dan realitas sosial (Dwiyanto, 2011). Verifikasi LHKPN berbasis digital dibarengi penguatan instrumen pengawasan kolaboratif (Inspektorat Jenderal Kemkeu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), KPK dan masyarakat) terhadap kinerja para pengawai DJP juga perlu diperkuat.

Hal tersebut untuk membersihkan “kubangan” mafia pajak dan menjamin reformasi birokrasi di DJP tidak hanya slogan, serta demi memulihkan skeptisisme publik dalam membayar pajak. Karena skeptisisme tersebut bisa mendorong munculnya kejahatan sosial, ekonomi bahkan politik yang membahayakan situasi kebangsaan.

Sumber : Harian Kontan Sabtu 18 Maret 2023 hal 11

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only