Menjawab Persoalan Rasio Pajak 2023 di Tengah Pertumbuhan Ekonomi yang Meningkat

Pajak merupakan salah satu instrumen yang sangat penting bagi setiap negara dalam mencapai stabilitas ekonomi yang berkelanjutan. Penerimaan pajak yang memadai dapat membantu pemerintah untuk membiayai berbagai program dan layanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Dengan pendapatan yang cukup, pemerintah dapat melaksanakan investasi infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dalam hal ini, rasio pajak yang tinggi dapat berkontribusi pada stabilitas ekonomi dengan memastikan ketersediaan dana yang cukup untuk mendukung kegiatan ekonomi dan sosial.

Rasio pajak (tax ratio) sendiri sering dikaitkan dengan alat ukur yang menggambarkan kinerja penerimaan pajak suatu negara. Rumus dalam menghitung rasio pajak adalah jumlah penerimaan pajak dibagi dengan total produk domestik bruto (PDB) pada periode yang sama. Semakin tinggi angka PDB suatu negara maka semakin tinggi pula tingkat produksi dan daya beli masyarakatnya. PDB menjadi dasar perhitungan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan pertumbuhan ekonomi selalu disandingkan dengan angka PDB yang naik juga. Akan tetapi, PDB yang tinggi di suatu negara belum tentu mencerminkan ekonomi yang stabil bagi penduduknya. Terdapat unsur lain yang perlu diperhatikan dalam menjaga stabilitas ekonomi dari PDB yang tinggi, yaitu tingkat kesenjagan sosial penduduk negara. Kondisi kesenjangan sosial dapat diantisipasi dengan salah satunya penerimaan pajak yang besar. Oleh karena itu, tolak ukur rasio pajak memiliki peran penting untuk mengurangi kesenjangan sosial dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil. Rasio pajak yang tinggi menafsirkan penerimaan pajak yang tinggi juga sehingga pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi negara akan berjalan baik. Lantas bagaimanakah dengan kondisi rasio pajak terkini di negara Indonesia?

Rasio Pajak Indonesia

Di negara Indonesia sendiri besaran rasio pajak masih tergolong rendah. Rasio pajak Indonesia pada tahun 2022 kemarin hanya sebesar 10,41% yang dinilai mengalami penurunan dalam 20 tahun terakhir meskipun sempat naik dalam 3 tahun terakhir ini. Pencapaian tersebut hanya lebih baik dari Laos dalam kawasan Asia Pasifik. Rata-rata rasio pajak negara anggota OECD adalah di atas 30% dan negara berkembang sebesar 27%. Menuru Siswanto (2023), suatu negara harus mencapai rasio pajak minimal 15% agar menjadi negara yang mampu mempertahankan pendanaan yang cukup dalam merealisasikan berbagai pembangunannya. Negara Indonesia termasuk ke dalam rata-rata rasio pajak negara terendah yang hanya mencapai 10%.

Bahkan di tahun 2023 ini, rasio pajak diproyeksikan akan mengalami penurunan ke level 9,61% dibandingkan dengan tahun 2022 yang sudah mencapai level dua digit. Akan tetapi, penurunan tersebut tidak spontan langsung dianggap sebagai hal buruk. Pada kenyataannya meskipun angka rasio pajak melemah di tahun ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi Indonesia justru mengalami pertumbuhan pada kuartal I 2023 sebesar 5,03% (yoy). Di sisi lain, data analis kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengungkapkan angka tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak di tahun 2023 diperkirakan berada pada level 0,09. Angka tersebut berada di bawah 1 dan menandakan bahwa rasio pajak mengalami penurunan dengan diikuti pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak.

Uraian di atas secara singkat mengartikan bahwa kondisi penurunan rasio pajak yang diikuti kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 adalah hal yang wajar karena angka tax buoyancy berada di bawah 1. Selain itu, penurunan rasio pajak juga disebabkan oleh beberapa hal lain, seperti kebijakan khusus Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang sudah berakhir yang mana dari PPS ini telah menyumbang sekitar Rp61 triliun untuk penerimaan pajak di tahun 2022 dan sebab lain dari sisi perkembangan harga komoditas yang mana rasio pajak di Indonesia masih bergantung pada harga komoditas.

Meskipun rasio pajak Indonesia masih tergolong rendah, pemerintah tentu telah berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menaikkannya secara konsisten dari tahun ke tahun. Terlebih lagi terdapat beberapa sumber yang menyebutkan bahwa rasio pajak pada tahun 2024 diprediksi akan kembali ke level dua digit. Salah satu upaya dalam meningkatkan angka rasio pajak Indonesia yaitu dengan menerapkan reformasi perpajakan berkelanjutan yang diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Seberapa berhasilkah UU HPP tersebut, berikut pembahasan aktualisasi dari UU HPP yang telah diselenggarakan oleh pemerintah.

Aktualisasi UU HPP

Dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat pasca pandemi Covid-19, pemerintah telah mengeluarkan peraturan terbaru sebagai bentuk reformasi perpajakan berkelanjutan dengan adanya UU HPP. Selain untuk stabilitas ekonomi, UU HPP juga ditujukan untuk memperluas basis penerimaan pajak sehingga rasio pajak dapat meningkat. Beberapa kebijakan terbaru dalam UU HPP yang telah diaktualisasikan oleh pemerintah dan dinilai berhasil dalam meningkatkan rasio pajak serta stabilitas ekonomi yaitu sebagai berikut.

  • Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP). Program ini diselenggarakan dari periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022 dan telah berhasil menambah penerimaan pajak dari sisi Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp61,01 triliun.
  • Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April 2022. Rata-rata tarif PPN di seluruh dunia adalah sebesar 15%  sehingga kenaikan tarif 11% tersebut masih tergolong wajar dan tidak memberatkan roda perekonomian masyarakat. Di lain sisi, ketentuan PPN terbaru dalam UU HPP ini justru menguntungkan masyarakat karena PPN akan dibebaskan pengenaannya terhadap barang kebutuhan pokok, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, dan sebagainya.
  • Upaya pemadanan NIK menjadi NPWP yang bertujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan bagi wajib pajak.
  • Penyesuaian lapisan tarif PPh orang pribadi sebesar 35% atas penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dan batasan bawah 5% atas penghasilan kena pajak yang semula Rp50 juta menjadi Rp60 juta sehingga masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dikenakan pajak yang lebih rendah. Selain itu, pajak UMKM juga mendapatkan keringanan dengan tidak dikenakannya pajak atas penghasilan bruto sampai Rp500 juta setahun.

Beberapa aktualisasi di atas dapat berdampak positif pada penerimaan negara tentunya tidak luput dari kesadaran dan kepatuhan wajib pajak akan kewajiban perpajakannya. Semakin tinggi kesadaran dan kepatuhan wajib pajak maka semakin besar pula kontribusi terhadap penerimaan negara sehingga rasio pajak dapat meningkat dan pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih stabil.

Sumber: kompasiana.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only