Usaha Hiburan Minta Aturan Pajak Direvisi

Pajak hiburan akan dinaikkan menjadi 40%-75%

JAKARTA. Pelaku usaha hiburan mendapat kado pahit di awal tahun. Kelangsungan bisnis mereka terancam menyusul rencana pemerintah daerah menaikkan pajak hiburan berkisar 40%-75%.

Kebijakan menaikkan pajak hiburan itu mengacu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Sebelumnya, UU 28/2009 tentang Pajak Daerah (DPRD), mengatur tarif pajak hiburan minimal 35% dan maksimal 75%.

“Khusus tarif PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu) atas jasa hiburan diskotik, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%,” demikian bunyi Pasal 58 ayat 2 UU HKPD.

Beleid yang disahkan pada 5 Januari 2022 itu berlaku paling lambat Januari 2024, atau dua tahun setelah UU HKPD disahkan. Nah, pada awal tahun ini sejumlah daerah sudah berancang-ancang menaikkan tarif pajak jasa hiburan mengacu beleid anyar tersebut.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Badung, Bali telah menaikkan pajak hiburan menjadi 40% dari sebelumnya 15%.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono mengatakan, kenaikan pajak hiburan menyulitkan pelaku usaha perhotelan yang memiliki lini bisnis spa, karaoke dan klub malam.

“Kalau dilihat dari sisi spa dan karaoke itu sungguh berat dengan angka penetapan pajak 40%,” kata Sutrisno kepada KONTAN, Minggu (14/1).

Ia menjelaskan, kenaikan pajak itu dibebankan ke konsumen. Hal itu jelas berdampak turunnya jumlah pengunjung, sehingga membuat hiburan menjadi lesu. “Pajak tinggi membuat industri kehilangan konsumen,” jelasnya.

Pada akhirnya, pelaku usaha bakal melakukan pemangkasan tenaga kerja. Maka itu, ia berharap pemerintah meninjau kembali rencana menaikkan pajak tersebut.

Menambah beban

Ketua Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI), Mohammad Asyhadi mengatakan, pengenaan pajak hiburan 40% berpotensi mematikan usaha spa karena harga jasa spa otomatis naik tinggi.

“Memasukkan spa sebagaian dari jasa kesenian dan hiburan tidak tepat, karena spa merupakan jasa pelayanan perawatan dan kesehatan,” katanya, Jumat (11/1).

Asyhadi bilang, terbitnya kebijakan baru itu makin membebani pelaku usaha spa. Sebab, selain pajak PBJT 40%, mereka juga tetap membayar pajak pertambahan nilai (PPN) 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25% dan PPh Pribadi 5%-35%.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Ramdani juga menentang kenaikan tarif pajak hiburan di Indonesia baru akan bangkit paska pandemi Covid 19. Sehingga, kebijakan menaikkan pajak dinilai tidak tepat.

“Thailand saja justru menurunkan pajaknya untuk mengejar pertumbuhan pariwisata,” ujarnya, kemarin.

Sumber : Harian Kontan Senin 15 Januari 2024 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only