Ditjen Pajak Ungkap Latar Belakang Terbitnya PMK 172/2023 Soal PKKU

JAKARTA, Penerbitan PMK 172/2023 dilatarbelakangi oleh perkembangan dunia usaha. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (15/1/2024).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan penerbitan PMK 172/2023 diharapkan dapat memberi rasa keadilan, kepastian hukum, sekaligus kemudahan pelaksanaan hak dan kewajiban oleh para wajib pajak.

“Penerbitan PMK ini dilatarbelakangi oleh perkembangan dunia usaha dan peningkatan volume transaksi wajib pajak yang dipengaruhi hubungan istimewa,” ujar Dwi dalam siaran pers DJP. Simak beberapa ulasan mengenai PMK 172/2023.

DJP mengatakan PMK 172/2023 ini merupakan peraturan turunan dari PP 50/2022 serta PP 55/2022. PMK 172/2023 merupakan kodifikasi dari 3 ketentuan sebelumnya, yakni PMK 213/2016, PMK 49/2019, dan PMK 22/2020.

“Kodifikasi tata aturan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penerapan aturan terkait PKKU (Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha),” kata Dwi.

Selain mengenai ketentuan terkait dengan PKKU, ada pula ulasan tentang pengusaha kena pajak (PKP) dan kebijakan cukai etil alkohol.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.
Transfer Pricing

Sesuai dengan amanat Pasal 37 dan Pasal 47 PP 55/2022, Pasal 11 ayat (3) PP 50/2022, serta Pasal 44E ayat (2) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, penerbitan PMK 172/2023 ini mencakup beberapa pengaturan terkait transaksi wajib pajak yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Pengaturan yang dimaksud adalah pertama, penerapan PKKU. Kedua, kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement). Ketiga jenis dokumen dan/atau informasi tambahan dalam transaksi dipengaruhi hubungan istimewa. Keempat, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama.

Ada pula ketentuan ketiadaan perbedaan penerapan PKKU untuk transfer pricing (TP) domestik dan TP cross border. Selain itu, ada pengaturan penyesuaian keterkaitan (corresponding adjustment) untuk TP domestik. (DDTCNews)

SKPB Jadi Dasar Pengembalian dan Penagihan Pajak

PMK 172/2023 turut memuat bab khusus terkait dengan prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure/MAP).

“Surat keputusan persetujuan bersama (surat keputusan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam persetujuan bersama) … merupakan dasar pengembalian pajak atau dasar penagihan pajak sesuai dengan Pasal 27C ayat (6) UU KUP,” bunyi penggalan Pasal 53 ayat (1) PMK 172/2023. (DDTCNews)

Cukai Etil Alkohol

Pemerintah telah menerbitkan PMK 160/2023 yang mengubah ketentuan mengenai etil alkohol (EA), minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan konsentrat yang mengandung etil alkohol (KMEA).

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan PMK 160/2023 kini mengatur secara terpisah ketentuan cukai atas KMEA padat dan cair. Menurutnya, pengaturan ini akan lebih memberikan kepastian bagi pelaku usaha.

“Tarif KMEA dipisahkan antara padatan dan cairan karena pada dasarnya produk tersebut terdapat yang berbentuk padat dan cair,” katanya. (DDTCNews)

Validasi NIK-NPWP

DJP kembali mengimbau wajib pajak segera melakukan validasi nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi dengan nomor induk kependudukan (NIK).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan integrasi NIK sebagai NPWP bakal dilaksanakan secara penuh pada 1 Juli 2024. Menurutnya, wajib pajak perlu segera melakukan validasi agar nantinya lebih mudah mengakses layanan pajak pada DJP.

“Sebetulnya tidak ada sanksi, tetapi wajib pajak akan kesulitan mengakses atau masuk ke sistem [karena] tidak bisa lagi menggunakan NPWP, tetapi menggunakan NIK,” katanya.

Dwi mengatakan hingga akhir 2023 baru 59,88 juta NIK yang telah valid sebagai NPWP wajib pajak orang pribadi atau setara 82,63% dari 72,46 juta wajib pajak orang pribadi. Dengan demikian, masih ada 12,58 juta atau 17,37% NIK yang perlu diintegrasikan sebagai NPWP hingga Juni 2024. (DDTCNews)

Batas Waktu Kewajiban Pelaporan untuk Dikukuhkan sebagai PKP

Melalui PMK 164/2023, pemerintah merelaksasi batas waktu kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan relaksasi batas waktu diberikan agar pengusaha dapat memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan administrasi pemungutan PPN.

“DJP memberikan relaksasi batas waktu pengukuhan sebagai PKP dalam rangka memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang sebelumnya merupakan pengusaha kecil sehingga dapat memiliki waktu untuk mempersiapkan administrasi pemungutan PPN sebagai PKP,” katanya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (3) PMK 164/2023, kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lambat akhir tahun buku saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan.

Dalam ketentuan sebelumnya, yakni Pasal 4 ayat (2) PMK 68/2010 s.t.d.d PMK 197/2013, kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar.

Sumber : ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only