Tak Cukup Insentif Fiskal, Pemerintah Harus Revisi Batas Bawah Pajak Hiburan Malam

JAKARTA. Pengamat menilai pemberian insentif fiskal bagi pengusaha yang terdampak tarif pajak hiburan khusus tertentu dengan tarif rendah 40% dan maksimal 75% bukanlah merupakan hal yang solutif.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pemerintah perlu merevisi kembali tarif batas bawah pajak hiburan tertentu lantaran dikhawatirkan pemberian insentif bersifa parsial dan selektif.

“Dalam pemberian insentif fiskal seringkali terjadi adverse selection atau kondisi pelaku usaha yang harus mendapat insentif dikecualikan,” ujar Bhima, Selasa (16/1).

Menurutnya, dengan merevisi batas bahwa tarif tersebut akan berlaku universal dan menimbulkan keadilan bagi seluruh pelaku jasa hiburan.

“Saya kira tidak ada pemerintah daerah (pemda) yang mau memajaki sampai 40% karena itu kan artinya hampir setengah pendapatan lari ke kas pemda, pastinya pemda berhitung juga dampak pengangguran dan tutupnya sebagian tempat usaha hiburan,” katanya.

Senada, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa pemberian insentif fiskal tersebut tidak akan mengembalikan beban pajak para pelaku usaha terdampak seperti sedia kala. Oleh karena itu, pemberian insentif fiskal bukan merupakan hal yang solutif.

“Apakah pembebasan pajak rokok dapat mengembalikan beban pajak para pelaku usaha terdampak seperti sedia kala? Saya kira tidak,” kata Fajry.

Berdasarkan Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).  Merujuk Pasal 58 ayat 2, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Sejalan dengan amanat UU HKPD tersebut, pemerintah daerah juga telah menetapkan peraturan daerah (perda) untuk menjalankan pengenaan tarif pajak hiburan khusus jasa tertentu tersebut. Sayangnya, banyak pengusaha yang protes dan keberatan dengan tarif tersebut sehingga dianggap bisa mematikan dunia usaha hiburan.

Direktur Pajak Daerah dan Restribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana mengatakan bahwa pengusaha dapat mengajukan insentif fiskal apabila merasa keberatan dengan tarif tersebut.

Adapun insentif fiskal yang dimaksud adalah berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok pajak. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023.

“Jadi kalau saat ini memang belum mampu dengan tarif 40%, silahkan berdasarkan assestment daerahnya melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan pembebesan ataupun penghapusan dari pokok pajak,” ujar Lydia dalam Media Briefing, Selasa (16/1).

Sumber : kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only