Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, PHRI Bali: Melemahkan Perekonomian Bali

Kenaikan pajak hiburan menjadi di kisaran 40%-75% masih menuai polemik. 

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung Bali I Gusti Rai Suryawijaya mengatakan bahwa penerapan pajak ini akan kembali melemahkan perekonomian di Bali. Apalagi, Bali masih dalam kondisi pemulihan pariwisata paska pandemi Covid-19. 

“Kami khawatir kalau wisatawannya berkurang lagi, Bali tentu perekonomianya akan kolaps lagi karena 60% perekonomian Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata,” kata Rai usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (22/1). 

Selain itu, banyak masyarakat Bali yang sangat bergantung pada sektor ini. Dia menyebut 1,2 juta dari 4,3 juta seluruh penduduk Bali merupakan pekerja di sektor pariwisata dan subsektor pariwisata. 

“Ini harus hati-hati,” jelas Rai.  

Untuk itu, Rai meminta agar pajak hiburan di Bali dapat dikembalikan menjadi 15%. Menurutnya, pajak tersebut sudah lebih dari cukup untuk Bali bangkit recovery usai pandemi dan meningkatkan pendapatan daerah. 

Rai optimistis pungutan pajak tersebut dapat mendatangkan banyak wisatawan asing datang ke Bali. 

“2023 lalu (wisman) kita close di angka 5,2 juta melebihi target Pemerintah Bali 4,5 juta. Makanya pajak diturunkan agar pendapatan daerah dari pajak hiburan akan bertambah,” jelas Rai. 

Diketahui, Pemerintah telah memberlakukan tarif pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKDP) sebesar 40%-75%. Kenaikan ini menjadi polemik lantaran banyak pelaku usaha yang merasa diberatkan. 

Sebagai informasi, UU HKPD telah menetapkan pengaturan atas Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dipungut oleh Kabupaten/ Kota, khusus DKI Jakarta dipungut oleh Provinsi.

PBJT ini meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan, dengan tarif paling tinggi 10%, di mana sebelumnya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan tarif paling tinggi 35%. 

Sedangkan Khusus PBJT atas Jasa Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40% dan paling tinggi 75% (sebelumnya dengan UU 28/ 2009 paling tinggi hanya 75%, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40%).

Pajak Hiburan yang sebesar yang minimum 40% ini dibebankan kepada pelanggan, sedangkan terhadap pihak Penyelenggara Jasa Hiburan juga dikenakan PPh Badan sebesar 22%.

Pemberlakuan pengenaan tarif PBJT yang baru paling lama 2 tahun sejak UU 1 Tahun 2022 mulai berlaku pada 5 Januari 2022 (5 Januari 2024) yang diatur oleh masing-masing Pemerintah Daerah.

Beberapa daerah telah menetapkan tarif PBJT diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa: (a) DKI Jakarta melalui Perda Nomor 1 Tahun 2024 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 25%); (b) Kabupaten Badung melalui Perda Nomor 7 Tahun 2023 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 15%).

Sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/ 2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75% (Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, Depok), sebesar 50% (Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, Surabaya), sebesar 40% (Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, Mataram).

Sumber : nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only