Kalau Gak Mau Gaji Turun Akibat TER PPh 21, Ini Solusinya!

Sejumlah karyawan di dalam negeri kaget ketika menerima gaji yang mengalami penurunan akibat penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21. Kebijakan TER ini membuat beberapa karyawan di Indonesia mengalami penurunan gaji bulanan.

Dengan penerapan skema TER, penghasilan karyawan yang terpotong pajak pada Januari-November agak berbeda dari penghitungan sebelumnya. Namun, perhitungan pajaknya akan kembali normal pada Desember. Saat itu, karyawan malah bisa berkurang karena dipotong masa pajak sebelumnya. Dengan demikian ketika dirata-ratakan dalam setahun, potongannya tak berbeda dari potongan PPh 21 selama ini.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) TER bukan merupakan jenis pajak baru dan tidak menimbulkan tambahan beban baru. Jika potongan PPh Pasal 21 selama bulan Januari-November ternyata lebih besar daripada sebelumnya, justru pada bulan Desember nanti jumlah potongan PPh 21 lebih ringan.

“Demikian sebaliknya, jika potongan PPh Pasal 21 selama Januari-November lebih kecil ketimbang skema lama, bisa jadi pada Desember nanti malah potongan PPh Pasal 21 menjadi lebih gede. Tapi yang jelas, total PPh Pasal 21 selama setahun tetap sama,” tulis Didik Susanto, Pegawai Ditjen Pajak, dalam kolom di pajak.go.id, dikutip Jumat (2/2/2024).

Menurut Didik, TER ini menyederhanakan hitungan PPh Pasal 21. Didik mengungkapkan oenghasilan bruto tinggal dikalikan tarif sesuai tabel acuan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (PP 58/2023).

“Bayangkan jika kita masih menggunakan skema penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 yang lama: penghasilan bulan tersebut dikurangkan biaya dan iuran yang dapat mengurangi penghasilan bruto (misal biaya jabatan dan iuran pensiun), menyetahunkannya dengan kali 12,” paparnya.

Kemudian, besaran dikurangkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), lantas dikalikan tarif PPh menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker).

“Selesai? Belum. Itu baru ketemu PPh terutang setahun. Lalu, yah dibagi 12 lagi untuk ketemu PPh Pasal 21 terutang pada bulan tersebut,” katanya.

Dalam TER, barulah pada bulan terakhir tahun pajak, skema penghitungan Pasal 17 itu digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 terutang selama setahun penuh. Kemudian, ini dikurangkan dengan akumulasi PPh Pasal 21 terutang yang telah dipotong dengan penghitungan TER selama Januari hingga November, dan ketemulah selisihnya yang harus dibayar untuk bulan Desember.

“Jadi, beban PPh Pasal 21 sepanjang tahun tetap sama dengan skema penghitungan yang lama,” terang Didik.

Terkait dengan potong-memotong pajak atas gaji karyawan, Didik menjelasakan sebenarnya ada alternatif –yang gak baru-baru juga, karena ketentuan yang mengaturnya sudah lama berlaku, hanya saja kini diperbarui– yang memungkinkan karyawan untuk tetap menerima take home pay secara utuh, lho.

Namanya adalah metode gross up, atau ditunjang oleh pemberi kerja. Mari kita ulas satu per satu, dan secara saksama, supaya tidak gagal paham.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang berdasarkan regulasi yang ada, dapat memilih tiga alternatif pemotongan, yaitu PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja, PPh Pasal 21 ditunjang oleh pemberi kerja (gross up), dan PPh Pasal 21 ditanggung karyawan.

Perbedaan pemilihan tiga alternatif tersebut dapat menyebabkan konsekuensi yang berbeda ihwal jumlah penghasilan (take home pay) yang diterima karyawan. Pembahasan kali ini akan dikupas tiga alternatif pemotongan PPh Pasal 21 di atas dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023), yang mulai berlaku efektif di masa pajak Januari 2024.

Bisa Ditanggung Pemberi Kerja

Jika PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja, take home pay yang diterima oleh karyawan utuh. Namun, semenjak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan, terdapat konsekuensi penting.

PMK 66/2023 ini berlaku sejak masa Juli 2023. Dampak penting dari PMK 66/2023 ini adalah, fasilitas PPh ditanggung pemberi kerja menjadi salah satu bentuk kenikmatan yang merupakan objek pajak.

Pemberi kerja dapat membiayakan fasilitas PPh 21 yang ditanggung tersebut. Perlakuan ini menjadi sama dengan skema fasilitas PPh 21 ditunjang pemberi kerja. Sehingga tidak ada lagi dikotomi antara PPh 21 yang ditanggung pemberi kerja dan PPh 21 yang ditunjang pemberi kerja. Sehingga, istilah “ditanggung” dan “ditunjang” kita leburkan saja menjadi “ditunjang” belaka.

Jadi, skema penghitungan pajak penghasilan PPh Pasal 21 yang diperkenankan tinggal menjadi dua metode yaitu ditanggung karyawan dan ditunjang pemberi kerja (gross up).

Ketentuan TER

Didik menegaskan TER sendiri terdiri dari dua jenis tarif yaitu tarif efektif bulanan dan tarif efektif harian. Tarif efektif bulanan dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) setiap karyawan.

Adapun lapisan tarif pada masing-masing kategori ditentukan berdasarkan besarnya penghasilan bruto. Tarif efektif harian dibagi ke dalam dua lapisan tarif yang ditentukan berdasarkan besaran penghasilan bruto harian.

“Pengaplikasian TER dalam menghitung PPh 21 terutang terbilang cukup mudah yaitu dengan cara mengalikan TER dengan penghasilan bruto yang diterima oleh karyawan pada bulan yang bersangkutan,” katanya.

Berikut ini penghitungan PPh 21 terutang dengan menggunakan dua metode yaitu PPh Pasal 21 ditanggung karyawan dan PPh Pasal 21 ditunjang pemberi kerja (gross up) sesuai dengan PMK 168/2023.

Tuan A merupakan pegawai tetap yang bekerja pada perusahaan atau pemberi kerja PT B. Besarnya penghasilan bruto bulan Januari 2024 yang diterima Tuan A adalah sebesar Rp10.000.000. Tuan A menikah dan tidak memiliki tanggungan (PTKP K/0).

Berdasarkan data di atas, Tuan A masuk ke dalam kategori A (TER A) karena PTKP K/0. Berdasarkan besarnya penghasilan bruto Tuan A di bulan Januari 2024, lapisan tarif yang dikenakan untuk Tuan A pada masa pajak Januari 2024 adalah TER A, lihat baris nomor 9 dalam tabel, yaitu sebesar 2% untuk penghasilan bruto di atas Rp9.650.000 sampai dengan Rp10.050.000.

Penghitungan PPh 21 Tuan A masa pajak Januari 2024 adalah sebagai berikut :

1. PPh Pasal 21 ditanggung karyawan

Pada skema PPh Pasal 21 ditanggung karyawan, take home pay yang diterima karyawan akan berkurang sebesar PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja.

Penggunaan TER bulanan dalam menghitung PPh Pasal 21 ditanggung karyawan

PPh 21 = Penghasilan bruto x TER Bulanan

PPh 21 = Rp10.000.000 x 2%

PPh 21 = Rp200.000

Menggunakan alternatif PPh ditanggung karyawan, jumlah tak home pay Tuan A bulan Januari 2024 adalah Rp9.800.000. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil pengurangan penghasilan bruto dengan PPh 21 ditanggung karyawan (Rp10.000.000 – Rp200.000).

“Mungkin kita berpikir metode ini menguntungkan pihak perusahaan atau pemberi kerja. Tapi, sebenarnya, metode gross up juga menguntungkan perusahaan, lho. Bahkan, bisa menawarkan win-win solution antara pemberi kerja dan pekerja. Kok bisa? Kita lanjut simak, ya,” tegas.

2. PPh 21 ditunjang pemberi kerja (gross up)

Tunjangan PPh termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh jo. UU Ciptaker. Pemberi kerja menyediakan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang bagi karyawan.

Sehingga, jumlah penghitungan penghasilan yang diterima karyawan akan bertambah sebesar PPh Pasal 21 yang dipotong oleh perusahaan, namun take home pay yang diterima oleh karyawan utuh. Jadi, besarnya tunjangan PPh Pasal 21 itu sama besarnya dengan PPh Pasal 21 yang terutang, sehingga karyawan menerima utuh penghasilan brutonya. Penghitungannya seperti ini.

Penggunaan TER bulanan dalam menghitung PPh 21 ditunjang perusahaan

Tunjangan PPh 21= (Penghasilan bruto sebelum tambahan tunjangan PPh 21) x 2/98

Tunjangan PPh 21 = Rp10.000.000 x 2/98

Tunjangan PPh 21 = Rp204.081,63

Angka pembilang 2 merupakan tarif efektif, sesuai dengan tabel acuan TER. Sedangkan angka penyebut 98 merupakan hasil pengurangan dari 100 – 2.

Berdasarkan perhitungan di atas, maka total penghasilan bruto Tuan A di bulan Januari 2024 adalah Rp10.204.081,63. Jumlah tersebut dari hasil penjumlahan penghasilan bruto dengan PPh 21 ditunjang perusahaan (Rp10.000.000 + Rp204.081,63).

Namun total penghasilan bruto Rp10.204.081,63 tersebut melebihi batas atas Tarif Efektif Bulanan Kategori A (TER A) dalam tabel baris nomor 9, yakni Rp10.050.000. Dengan demikian, Tuan A harus menggunakan tarif TER A dalam tabel baris nomor 10, yaitu 2,25% yang lapisan penghasilan bruto di atas Rp10.050.001 sampai dengan Rp10.350.000.

Sehingga penghitungan PPh 21 ditunjang perusahaan menjadi :

Tunjangan PPh 21 = (penghasilan bruto sebelum tambahan tunjangan PPh 21) x Rp. 2,25/97,75

Tunjangan PPh 21= Rp10.000.000 x 2,25/97,75

Tunjangan PPh 21 = Rp230.179,03

Sama seperti di atas, angka pembilang 2,25 merupakan tarif efektif, sesuai dengan tabel acuan TER. Sedangkan angka penyebut 97,75 merupakan hasil pengurangan dari 100 – 2,25.

Total penghasilan bruto Tuan A bulan Januari 2024 adalah Rp10.230.179,03. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil penjumlahan gaji dengan PPh 21 ditunjang perusahaan (Rp10.000.000 + Rp.230.179,03)

Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan skema TER adalah:

PPh 21 = Penghasilan Bruto x TER Bulanan

PPh 21 = Rp10.230.179,03 x 2,25%

PPh 21 = Rp230.179,03

Didik menegaskan dengan menggunakan alternatif PPh Pasal 21 ditunjang perusahaan, maka jumlah take home pay Tuan A bulan Januari 2024 adalah utuh Rp10.000.000. Sedangkan PPh Pasal 21 terutang Tuan A sebesar Rp230.179,03 akan menjadi biaya perusahaan atau pemberi kerja yakni sebagai biaya tunjangan PPh 21 karyawan yang dapat diakui secara fiskal sebagai pengurang penghasilan bruto bagi pemberi kerja.

“Nah, inilah letak win-win solution-nya. Perusahaan secara fiskal bisa membukukan biaya tunjangan PPh Pasal 21 ini sebagai biaya, dan di sisi lain, karyawan happy karena menerima take home pay utuh,” tegasnya.

Sumber : www.cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only