Mungkinkah Kebijakan Pajak Kekayaan (Wealth Tax) Diterapkan di RI?

Memungut pajak dari kelompok terkaya adalah salah satu topik yang populis di tengah peningkatan kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Menjadi ide yang menarik untuk didiskusikan mengingat pengenaan pajak tersebut dapat tercermin dari besaran simpanan di perbankan tanah air.

Simpanan pihak ketiga di perbankan mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun dan pada Februari 2024 berjumlah Rp8.489 triliun. Peningkatan besaran simpanan tersebut mengurangi jumlah uang yang beredar sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negeri ini. Sirkulasi uang di masyarakat memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi namun pada titik tertentu, ancaman inflasi pun membayangi.

Dari sudut pandang yang berbeda, cukup tingginya angka pengangguran terbuka perlu disikapi dengan serius terlebih lagi jika disandingkan dengan ancaman menurunnya populasi Indonesia di masa yang akan datang. Penurunan populasi tersebut dapat diramalkan melalui tren pernikahan yang mengalami titik terendah selama beberapa waktu terakhir.

Pada tahun 2023, pencatatan pernikahan di Indonesia berjumlah 1,58 juta pernikahan yang merupakan angka terendah dalam rentang 10 tahun terakhir. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah peningkatan biaya hidup namun tidak disertai peningkatan upah yang memadai. Generasi Z dipandang sebagai generasi yang akan memikul beban cukup berat disebabkan lapangan pekerjaan yang semakin terbatas nantinya.

Terbatasnya lapangan pekerjaan yang ada saat ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, melainkan sebuah fenomena yang terjadi merata di seluruh dunia. Terdapat sekurang-kurangnya dua faktor yang melatarbelakangi hal tersebut.

Pertama sebagai akibat dari disrupsi teknologi yang menjadi tren beberapa waktu terakhir. Sedangkan faktor kedua adalah dampak dari pandemi global yang terjadi di era tahun 2020. Kedua hal tersebut memaksa berbagai industri untuk melakukan perhitungan ulang pada berbagai lini bisnis yang dijalankannya demi mengejar efisiensi.

Dan akhirnya faktor manusia akan dikorbankan. Sejumlah unit produksi yang selama ini membutuhkan peran manusia sebagai inti dari sebuah sistem, perlahan pun mulai tergantikan oleh keberadaan teknologi yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan.

Berkaca dari realita tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah strategis dalam menangani permasalahan yang terjadi. Proses pembukaan lapangan kerja tidak hanya bersandar dari alokasi belanja pemerintah namun juga mendorong para pemilik modal untuk terlibat aktif dalam penciptaan lapangan pekerjaan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kebijakan fiskal yang sesuai agar minat pemilik simpanan jumbo mau membelanjakan sebagian kekayaannya dalam mendorong penciptaan lapangan kerja baru di tengah berkurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia.

Penciptaan lapangan pekerjaan baru di era saat ini bukan berarti kembali ke masa lampau dan menafikan perkembangan teknologi. Namun lebih ke arah pembentukan berbagai unit bisnis baru yang dihasilkan dari peningkatan belanja kaum super kaya.

Berbagai negara telah mencoba mendorong peningkatan belanja khususnya pascapandemi sebagai cara agar sektor riil kembali bergerak. Di antaranya Ekuador (pasca Covid-19), Islandia, Irlandia, Spanyol, dan Kolombia.

Peningkatan belanja dari kaum super kaya adalah hal perlu dipertimbangkan jika melihat data distribusi simpanan di perbankan. Apabila kita menggunakan data secara random misalnya pra pandemi (Desember 2016), mulai pandemi (Maret 2020), dan pascapandemi (Februari 2024) tampak bahwa pada kelompok dengan simpanan di atas Rp5 miliar secara konsisten mengalami peningkatan rata-rata saldo simpanan secara signifikan.

Sedangkan pada kelompok rekening dengan saldo sampai dengan Rp100 juta secara ajek mengalami penurunan. Bagi kelompok dengan saldo simpanan s.d Rp100 juta, pada Desember 2016 rata-rata saldo di dalam rekening berjumlah Rp3,7 juta, kemudian menurun menjadi Rp2,8 juta (Maret 2020), dan kembali menyusut menjadi Rp1,8 juta pada Februari 2024.

Kontras pada kelompok dengan saldo di atas Rp5 miliar, pada Desember 2016 rata-rata saldo rekening berjumlah Rp25,86 miliar, meningkat menjadi Rp29,26 miliar pada Maret 2020, serta kembali tumbuh menjadi Rp32,80 miliar pada Februari 2024.

Terus bertambahnya rata-rata saldo pada kelompok rekening di atas Rp5 miliar membuka diskusi mengenai perbandingan antara pajak penghasilan (income tax) dengan pajak kekayaan (wealth tax). Selama ini simpanan yang ada di perbankan dikenakan pajak penghasilan. Basis perhitungan pajak berdasarkan seberapa besar penghasilan (bunga) yang diperoleh atas saldo rekening tersebut.

Metode perhitungan pajak penghasilan tersebut memiliki sisi positif berupa kemudahan dalam penentuan berapa besaran pajak yang dipungut. Sedangkan kelemahannya pengenaan pajak penghasilan adalah bertambahnya saldo mengendap dalam jangka panjang pada rekening dengan saldo luar biasa.

Khusus bagi rekening dengan saldo minimalis, tabungan yang dimiliki oleh nasabah akan mengalami penyusutan terus menerus disebabkan tambahan yang diperoleh tidak sebanding dengan adanya pajak dan biaya administrasi. Pengenaan pajak penghasilan bagi saldo rekening minimalis layak untuk didiskusikan lebih mendalam mengenai unsur keadilan bagi si pemilik rekening.

Pajak kekayaan bisa dijadikan sebagai perspektif baru dalam menyikapi hal tersebut. Basis perhitungan pajak yang dikenakan pun berbeda apabila dibandingkan dengan pajak penghasilan serta memiliki tingkat kerumitan dalam perhitungan yang lebih kompleks dibandingkan pengenaan pajak penghasilan.

Namun jika konteks pengenaan pajak kekayaan hanya dibatasi pada saldo simpanan rekening perbankan, implementasinya tidak akan serumit apabila pajak kekayaan terhadap diterapkan secara menyeluruh pada unsur kekayaan selain saldo rekening perbankan.

Pengenaan pajak kekayaan pada saldo rekening perbankan memiliki beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan acuan, pertama berkaitan dengan unsur keadilan, kedua dari sisi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan, serta tak kalah penting dari sisi penerimaan negara.

Faktor keadilan adalah pertimbangan utama terkait perubahan basis pengenaan pajak. Jika pada pajak penghasilan basis pengenannya dihitung dari tambahan kekayaan (bunga tabungan/deposito), maka pajak kekayaan dikenakan secara total dari kekayaan yang dimiliki (total simpanan).

Perbedaan basis perhitungan ini yang membuat secara persentase tarif pajak kekayaan lebih rendah dibandingkan dengan pajak penghasilan. Besaran tarif pajak kekayaan umumnya di bawah angka 3,5% pada beberapa negara yang telah menerapkan pajak tersebut.

Pengenaan pajak kekayaan mempertimbangkan kekayaan bersih dari si wajib pajak. Semakin meningkat kekayaan bersih maka besaran pajak yang dipungut bertambah. Namun jika kekayaan bersih mengalami penurunan bahkan negatif maka kewajiban pajaknya akan berkurang bahkan hilang sama sekali.

Faktor pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan akan menjadi pemicu adanya trade off alias pertukaran yang memaksa kelompok kaya untuk memilih dua alternatif. Alternatif pertama yaitu apakah tetap mengendapkan uang dengan risiko kena pajak kekayaan, ataukah alternatif kedua yaitu memutarnya dalam bentuk usaha di sektor riil meskipun keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar.

Alternatif menyimpan atau membuka sebuah usaha selalu diukur dengan pertimbangan risiko dan hasil yang diharapkan. Meningkatnya simpanan di perbankan diduga sebagai dampak atas meningkatnya risiko usaha di sektor riil namun tidak diimbangi dengan imbal hasil yang sepadan. Sedangkan menyimpan sejumlah uang di bank dianggap memiliki risiko lebih rendah namun menjanjikan imbal hasil yang lebih baik.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah potensi penerimaan negara dari pemberlakuan pajak kekayaan. Di sini perlunya dilakukan kajian lebih mendalam mengenai perbandingan potensi penerimaan dari pajak penghasilan dibandingkan pajak kekayaan yang dipungut atas saldo simpanan di bank.

Apakah akan memilih pajak penghasilan secara penuh, campuran pajak penghasilan dengan pajak kekayaan dengan batas tertentu, atau sepenuhnya menggunakan pajak kekayaan. Apabila tetap menggunakan pajak penghasilan secara penuh maka saldo pada rekening bank akan terakumulasi terus menerus khususnya pada kelompok di atas Rp5 miliar. Pemerintah akan kesulitan dalam perumusan kebijakan yang memaksa kaum super kaya untuk lebih banyak berbelanja.

Jika kebijakan yang diambil adalah campuran antara pajak penghasilan dan pajak kekayaan, maka perlu ditetapkan sampai seberapa batas dikenakan pajak penghasilan dan mulai batas berapa dikenakan pajak kekayaan diberlakukan. Sedangkan apabila simpanan di bank hanya dikenakan pajak kekayaan, maka transisi sistem yang terjadi harus mampu berjalan dengan mulus.

Sebagai gambaran, pada tahun 2019 Senator Elizabeth Warren menawarkan ide terkait pengenaan pajak kekayaan bagi kelompok super kaya di Amerika Serikat dengan tarif pajak antara 2%-3% bagi masyarakat dengan kekayaan bersih di atas US$ 50 juta.

Selain itu lembaga pengamat pajak di Eropa bernama EU Tax Observatory pada tahun 2023 memperkirakan bahwa pengenaan pajak kekayaan sebesar 2% bagi kelompok kaya di dunia akan menghasilkan pajak sebesar US$ 250 miliar atau setara dengan 0,2% PDB dunia.

Meskipun pajak kekayaan memberikan nuansa baru dalam melihat fenomena akumulasi saldo tabungan secara lebih komprehensif, patut diperhatikan juga bahwa potensi terbangnya simpanan para nasabah super kaya ke negara lain akibat pengenaan pajak tersebut.

Namun satu hal yang pasti bahwa setiap negara akan mulai mencermati fenomena kenaikan simpanan pada negara masing-masing. Dan kebijakan untuk mendorong kaum super kaya berbelanja lebih banyak akan dirumuskan oleh semua negara, termasuk di dalamnya pengenaan pajak atas kekayaan bagi kelompok atas.

Sumber : cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only