Evaluasi Raperda Pajak Daerah, Ini Rentetan Temuan DJPK Kemenkeu

Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) mendapati sejumlah temuan dari rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang diserahkan oleh pemerintah daerah (pemda).

Seperti diketahui, pemda harus menetapkan perda baru tentang PDRD sesuai dengan
ketentuan UU HKPD paling lambat 5 Januari 2024. Berdasarkan raperda yang disampaikan pemda, DJPK telah mengevaluasi dan menyampaikan temuannya kepada pemda yang bersangkutan.

“Jadi hasil evaluasi kami adalah seperti ini. Ini yang harus diperbaiki. Kemudian ketika
jadi perda kita lihat lagi hal-hal seperti ini masih muncul tidak di perda-nya. Kalau,
masih muncul kita akan ngomong lagi ke Kemendagri tolong hasil seperti ini untuk
ditindaklanjuti,” jelas Direktur PDRD DJPK Lydia Kurniawati Christyana dalam webinar
nasional bertajuk Implementasi Peraturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2024,
dikutip pada Rabu (24/4/2024).

Secara lebih terperinci, DJPK setidaknya mendapati ada 5 temuan terkait pajak daerah dalam raperda. Pertama, masih terdapat raperda yang belum mengatur secara detail jenis pajak daerah yang akan dipungut dan tidak dipungut.

Kedua, masih terdapat raperda yang menetapkan nilai objek yang tidak kena pajak
pada PBJT atas makanan dan/atau minuman sangat rendah. DJPK menilai hal
tersebut kurang memperhatikan kewajaran untuk mendukung kemudahan berusaha
bagi UMKM.

Ketiga, masih terdapat raperda yang belum menetapkan tarif PBB-P2 lebih rendah untuk lahan produksi pangan dan ternak. Keempat, masih terdapat raperda yang menetapkan tarif dalam rentang tertentu atau belum ditetapkan secara definitif dalam perda.

Kelima, masih terdapat raperda yang belum mengatur secara detail terkait wilayah
pemungutan pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB), dasar pengenaan opsen
pajak kendaraan bermotor (PKB), dan dasar pengenaan opsen bea balik nama
kendaraan bermotor (BBNKB).

Lydia menegaskan ketentuan pajak daerah berdasarkan perda yang baru berlaku
efektif mulai Januari 2024, sepanjang pemda telah menetapkan perdanya. Namun,
khusus pengaturan mengenai PKB, BBNKB, pajak MBLB, opsen PKB, opsen BBNKB,
dan opsen pajak MBLB, baru mulai berlaku pada 5 Januari 2025.

“Beberapa daerah sudah menyelesaikan terkait dengan perda-nya. Namun, memang
masih ada 1 daerah, yaitu Kabupaten Nduga yang belum punya perda PDRD.
Otomatis mereka tidak boleh melakukan pemungutan. Ini problem lain yang harus
didampingi,” jelas Lydia.

Lydia menambahkan ada 4 poin yang harus diperhatikan agar implementasi kebijakan PDRD berdasarkan UU HKPD dapat berjalan optimal. Pertama, komitmen pemda untuk menjalankan ketentuan UU HKPD. Kedua, perbaikan kualitas data dan
digitalisasi sistem perpajakan daerah.

Ketiga, sinergi dan inovasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam persiapan
sistem administrasi dan perpajakan dalam pemungutan opsen. Keempat, akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaan kebijakan PDRD kepada masyarakat sebagai wajib pajak/wajib retribusi.

Selain itu, Lydia menyebut ada 2 isu utama terkait dengan implementasi PDRD. Kedua
isu tersebut menyangkut persiapan peraturan kepala daerah (perkada) yang mengatur teknis pemungutan pajak serta persiapan implementasi pemungutan opsen pajak daerah.

“Penyiapan perkada jadi tantangan. Belum semua daerah menindaklanjuti perdanya
dengan perkada. Ini akan menjadi pending matters yang berkelanjutan jika tidak
diselesaikan,” kata Lydia.

Di sisi lain, pemerintah daerah sesungguhnya masih punya waktu untuk mempersiapkan opsen pajak daerah dengan lebih baik. Sebelum berjalan pada 5
Januari 2025, pemda menyelesaikan payung hukum pelaksanaan opsen pajak.

“Kami dari DJPK siap untuk membantu,” kata Lydia.

Sementara itu, Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luki Alfirman mengatakan
UU HKPD di didesain untuk meningkatkan local taxing power secara terukur. Menurut Luki, penguatan local taxing power tersebut di antaranya dilakukan melalui 3 kebijakan.

Pertama, perluasan basis pajak melalui opsen pajak provinsi dan kabupaten/kota
sebagai pengganti skema bagi hasil serta melalui sinergitas pajak pusat dan pajak
daerah.

Kedua, menurunkan administration cost dan compliance cost melalui restrukturisasi
jenis pajak daerah berbasis konsumsi menjadi PBJT serta rasionalisasi jenis retribusi
daerah. Ketiga, harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

“Atas pokok-pokok kebijakan tersebut pemda diharapkan dapat mengoptimalkan
implementasinya di daerah serta mengoptimalkan layanan kepada masyarakat melalui belanja yang berasal dari pendapatan pajak,” ujar Luki.

Sumber : news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only