Duh! Pajak Masih Bikin Takut UMKM Masuk Pasar Digital

Lembaga penelitian asal Belanda, KIT Royal Tropical Institute, menemukan fakta menarik penyebab pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia enggan masuk ke pasar digital. Salah satunya karena persoalan pajak.

Padahal, lembaga itu mencatat 200 juta penduduk di Indonesia sebetulnya telah terhubung dengan akses internet, menjadikan potensi pasar besar bagi para pelaku usaha. Namun, hanya sekitar 2 juta UMKM yang masuk ke pasar digital atau e-commerce.

“Namun, hanya 20% yang menggunakannya (digitalisasi) secara konsisten. Jadi ada kesenjangan,” kata Direktur Pelaksana KIT Royal Tropical Institute Mayada el Zoghbi dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 di Menara BRILiaN, Jakarta Selatan, Kamis (7/3/2024).

Mayada el Zoghbi mengatakan, pengenaan pajak masih menjadi kekhawatiran utama UMKM masuk ke pasar digital. Ketika mereka masuk ke pasar itu, ada kekhawatiran transaksi bisnis mereka menjadi mudah diketahui otoritas pajak.

“Ketika kami melakukan focus group discussion, kami menemukan bahwa masyarakat sebenarnya berpikir bahwa jika mereka melakukan online, menjadi formal, mereka akan dikenakan pajak,” tegas Mayada.

Selain persoalan pajak, kekhawatiran mereka untuk masuk ke ranah digital ialah persaingan harga yang tidak sehat. Menurutnya, pelaku UMKM di Indonesia masih sulit bersaing dari sisi harga dengan perusahaan-perusahaan besar yang bisa memangkas biaya produksinya.

“Mereka berpikir bahwa mereka juga takut jika harga mereka diketahui secara online, dan orang-orang dapat berbelanja dan membandingkan harga, maka mereka akan kalah dari pesaingnya,” ungkap Mayada.

Oleh sebab itu, ia menekankan, persoalan ini harus dicarikan solusi bagi pemerintah di Indonesia. Sebab, jika permasalahan untuk meyakinkan mereka bahwa pajak bisa diterapkan secara adil dan seimbang tak kunjung tercapai, kue ekonomi dari pasar digital akan semakin tak dinikmati pelaku UMKM.

“Anda harus memikirkan dengan baik, bagaimana Anda membuat mereka mempercayai sistem dan merasa nyaman bahwa mereka memiliki jalan keluar jika mereka melakukan kesalahan, atau bahwa semua ketakutan mereka mengenai perpajakan dan hal-hal lain tidak akan membebani mereka,” ungkap Mayada.

Permasalahan ini sebetulnya juga telah menjadi sorotan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia mengaku sulit menaikkan angka rasio pajak di Indonesia yang tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina.

Rasio pajak tercatat turun ke posisi 10,21% dari PDB pada 2023. Sebelumnya, rasio pajak tercatat mencapai 10,39% pada 2022. Angka tersebut naik 9,12% pada 2021.

“Kita tahu Indonesia masih kesulitan untuk meningkatkan tax ratio (rasio pajak),” ungkap Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum 2024 di Hotel Fairmont, Jakarta, dikutip Rabu (6/3/2024).

Menurutnya, letak permasalahan Indonesia ada pada basis perpajakan. Sebanyak 47% perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan 53% dari basis pajak. Kemudian, pemerintah juga merilis insentif pajak. Hal ini tentunya mempengaruhi penerimaan.

“Intinya dari pengumpulan atau penagihan pajak, kita hanya mengandalkan 53 persen. Ini terjadi bukan saja karena banyak ekonomi informal di Indonesia, tapi juga banyak pengecualian perpajakan di mana kegiatan-kegiatan ekonomi masih belum dikenakan pajak, yang diatur dalam kebijakan dan regulasi. Ini juga terjadi karena kami memberikan sejumlah insentif,” paparnya.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only