Ekonomi Bisa Lesu Lagi, Stimulus Harus Digenjot Kembali

JAKARTA. Ekonomi Indonesia memang menunjukkan pemulihan pada kuartal II-2021. Tapi, risiko baru membayangi  ekonomi di periode mendatang. Pemerintah harus menyiapkan amunisi ekstra bagi laju ekonomi agar tak terjerembab lagi.

Sejumlah risiko yang mengadang ekonomi di depan, antara lain, pertama, risiko global. Pemerintah Amerika Serikat (AS) berpeluang mengurangi stimulus fiskal dan moneter seirama dengan pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari perkiraan.

Kondisi ini akan memicu capital outflow dari pasar keuangan dalam negeri, terutama pasar surat utang negara (SUN). Situasi ini bisa melemahkan rupiah dan merontokkan pasar obligasi.

Kedua, ekspor mulai turun, akibat turunnya harga komoditas serta kelesuan ekonomi di negara tujuan ekspor. Mei 2021, misalnya, nilai ekspor Indonesia senilai US$ 16,6 miliar, turun 10,25% dari April 2021.

Ketiga, merebaknya kasus varian baru Covid-19 yang lebih cepat menular di beberapa wilayah termasuk Jakarta. Jika tak terkendali, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akan dipilih untuk meredam penyebaran virus korona. Situasi ini bisa melemahkan lagi ekonomi dalam negeri akibat pembatasan mobilitas masyarakat dan aktivitas ekonomi.

Memang, pemerintah mengalokasikan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 699,43 triliun. Bank Indonesia (BI) juga memberi injeksi likuiditas ke pasar keuangan. Per 8 Juni 2021, misalnya, BI memborong obligasi negara sekitar Rp 115,87 triliun, baik dari pasar primer dan sekunder.

Toh, selain nilainya masih kecil dibanding sejumlah negara lain, penyerapan PEN masih memble. Per 11 Juni 2021, realisasi penyerapan PEN sekitar Rp 219 triliun atau 31,4% dari total plafon.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, proyeksi Kadin, pertumbuhan eknomi di kuartal III-2021 bisa 5%, asalkan penanganan pandemic virus korona berjalan optimal. Sebab, krisis ekonomi saat ini berakar pada masalah kesehatan.

Agar laju ekonomi tetap terjaga, Shinta berharap, pemerintah melanjutkan sejumlah stimulus ekonomi yang telah berakhir Juni 2021 untuk mendorong ekonomi hingga akhir tahun nanti. Misalnya, memperpanjang insentif perpajakan untuk korporasi, melanjutkan restrukturisasi utang korporasi, hingga suntikan likuiditas ke pasar.

Stimulus pendongkrak konsumsi, termasuk bantuan sosial tunai, juga diperlukan. “Stimulus harus difokuskan menggerakan sektor riil, investasi dan ekspor. Pasar jangan sampai shock karena skema pajak pertambahan nilai (PPN) kebutuhan pokok dan kebijakan pajak yang bisa mendistorsi ekonomi,” kata Shinta, kemarin (15/6).

Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede juga berharap, pemerintah harus menjaga momentum pemulihan ekonomi. Apalagi sejumlah indikator menunjukkan hal positif, seperti pemulihan ekonomi. Apalagi sejumlah indikator menunjukkan hal positif, seperti pemulihan permintaan, penjualan eceran naik, serta tren penurunan pengangguran dan kemiskinan.

Prediksi Ekonomi Bank Mandiri Faisal Rachman, ekonomi di kuartal III-2021 tumbuh antara 5,5%-6% atau di bawah proyeksi ekonomi kuartal II-2021 di level 7%. Agar lebih kencang, program PEN harus digenjot lagi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah sangat serius menangani Covid-19, dan menyiapkan reformasi ekonomi. “Ini harus dilakukan hati-hati. Arah APBN ke depan harus dijaga, dan membangun fundamental ekonomi,” kata Sri Mulyani.

Sumber: Harian Kontan, Rabu 16 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only