CITA: Pemenuhan Target Pajak 2022 Jangan Sampai Ganggu Pemulihan Ekonomi

JAKARTA, investor.id – Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyatakan optimalisasi penerimaan harus dilakukan tanpa mengganggu pemulihan ekonomi. In menjadi tantangan tersendiri pada 2022.

Pengamat pajak CITA Fajry Akbar melihat rencana kebijakan penerimaan pajak pemerintah seperti perluasan basis pemajakan, perluasan kanal pembayaran, penegakan hukum yang berkeadilan, dan evaluasi pemberian insentif sejalan dengan pemulihan ekonomi. Dengan demikian tidak akan mengganggu pemulihan ekonomi.

“Hanya saja, meski dalam konteks perluasan basis pajak, optimalisasi perlu dilakukan pada sektor yang benar-benar sudah pulih. Optimalisasi perlu dilakukan ke Wajib Pajak yang tidak atau paling sedikit terdampak pandemi,” ucap Pengamat Pajak CITA Fajry Akbar dalam siaran pers yang diterima, Selasa (17/8).

Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.506,9 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Dengan rincian penerimaan pajak sebesar Rp 1.262,9 triliun sedangkan kepabeanan dan cukai ditargetkan Rp 244 triliun.

Menurutnya, optimalisasi penerimaan jangan sampai mengorbankan tingkat kepatuhan wajib pajak yang selama ini telah patuh dan mengorbankan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas.

Selanjutnya, ia mengaku mengapresiasi reformasi perpajakan “menuju sistem yang sehat dan adil” baik reformasi kebijakan dan reformasi administrasi. “Kami melihat reformasi ini tak hanya memberikan peningkatan penerimaan namun juga berkelanjutan. Tak hanya mendorong penerimaan namun juga sejalan dengan upaya mendorong ekonomi,” ucap Fajry.

Dalam reformasi kebijakan, insentif perpajakan memang sudah seharusnya dievaluasi. Selama ini pemberian insentif telah menggerus penerimaan pajak. Jika diberikan secara tidak tepat maka pemerintah perlu merevisi insentif tersebut. Begitu pula dengan memperbaiki progresivitas pajak.“Ini dibutuhkan mengingat basis pajak yang kuat membutuhkan pendapatan perkapita yang semakin merata, tak hanya tinggi,” ujarnya.

Fajry mengatakan, perlunya mengurangi distorsi seperti VAT exemption juga penting. Distorsi ini nyatanya membuat produk asal Indonesia menjadi kurang bersaing terhadap produk luar. Distorsi ini juga pada akhirnya merugikan konsumen Indonesia karena beban pajak di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan tarif normal.

Reformasi administrasi harus dilakukan secara berkelanjutan. Administrasi pajak yang lebih sederhana dan efisien serta menjamin kepastian hukum akan mampu mendorong penerimaan melalui peningkatan kepatuhan. “Namun di sisi lain, reformasi ini juga akan mendorong iklim usaha. Alhasil, penerimaan meningkat dan ekonomi juga terdorong,” kata Fajry.

Pemerintah akan melakukan konsolidasi fiskal 2023 dengan defisit anggaran diperkirakan berada di bawah 3% terhadap PDB, menurutnya ini terlalu optimis. Tanpa adanya reformasi perpajakan yang masif dan menyeluruh seperti RUU Perpajakan, target tersebut tidak akan terpenuhi.“Oleh karena itu, pemerintah perlu mengimplementasikan RUU Perpajakan (jika telah disahkan) agar konsolidasi fiskal dapat dilakukan,” ucapnya.

Sumber: investor.id, Selasa 17 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only